Saturday, October 5, 2024
BerandaBerita Utama5.508 Hektare Sawah Tadah Hujan Terancam Kekeringan, Petani Bandung Barat Terpaksa Panen...

5.508 Hektare Sawah Tadah Hujan Terancam Kekeringan, Petani Bandung Barat Terpaksa Panen Dini

progresifjaya.id, KAB. BANDUNG BARAT – Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) KBB mencatat sekitar 5.508 hektare sawah di Bandung Barat terancam kekeringan karena bersifat sawah tadah hujan.

“Lokasinya ada di 49 desa di enam kecamatan, mulai dari Sindangkerta, Saguling, Cipongkor, Cipatat, Cihampelas, dan Batujajar,” kata Kepala DKPP Bandung Barat, Lukmanul Hakim.

Menurutnya, solusi paling memungkinkan yang bisa dilakukan demi menghindari kerugian dialami para petani yakni mengganti tanaman menjadi palawija yang tak butuh banyak air.

“Petani tetap harus produktif. Kita coba cari solusi dengan mengganti jenis tanaman yang tidak butuh pasokan air banyak. Jadi pertanian tetap berjalan,” kata Lukmanul.

Sementara terlihat padi menguning terhampar di sawah yang mulai kekeringan dilanda kemarau selama beberapa pekan belakangan. Warnanya memantul diterpa matahari yang terik menyengat.

Nampak beberapa petani penggarap di lahan sawah milik Haji Ali di Kampung Rancamanjah, Desa Citapen, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Mereka memangkas batang tanaman padi yang tumbuh di tanah belah karena tak terairi.

Sudah hampir sebulan lebih sawah tadah hujan itu tak terbasahi. Bukan sama sekali kering, sebab pemiliknya menyiasati kebutuhan air itu dengan menyemprotkan air dari sumur kecil di tengah sawah yang airnya mesti disedot menggunakan mesin.

“Ya seperti ini kondisinya, kering. Kalau kemarau pasti harus dipanen lebih awal, kalau enggak ya gagal panen,” kata Ali, pemilik lahan sawah dikutip Kamis (15/8/2024).

Seharusnya padi yang ditanam di lahan seluas 7.500 meter persegi miliknya itu bisa ditanam beberapa pekan lagi. Sampai bulir padi benar-benar gemuk dan kualitasnya bagus.

“Cuma kalau enggak dipanen sekarang, selain nanti malah biaya membengkak tanaman padinya habis dimakan burung. Jadi lebih baik dipanen saja,” kata Ali.

Ali mengatakan kemarau yang terjadi membuat saluran irigasi untuk mengairi sawah akhirnya mengering. Padahal air dari hulu sungai sebetulnya masih mengalir.

“Jadi kondisi irigasinya itu memang tidak terawat, kalau sudah kemarau begini biasanya mampet sama sampah, terus ada yang longsor. Kalau diperbaiki kan harusnya sama pemerintah,” keluh Ali.

Sementara untuk mengoperasikan mesin penyedot air dari sumur di tengah sawah itu, memerlukan bahan bakar. Dalam sehari ia mesti mengeluarkan modal minimal Rp60 ribu untuk membeli bahan bakar.

“Minimal 5 liter, ya sekitar Rp60 ribu. Itu untuk 2 hari sekali penyiraman, kalau semakin kering seperti ini ya bisa jadi sehari sekali, ongkosnya besar kalau enggak segera dipanen padinya,” kata Ali.

Hasil panen Ali itu biasanya untuk konsumsi pribadi. Sebab dari gabah kemudian dibersihkan hingga menjadi beras, jumlahnya merosot hampir 50 persennya.

“Belum lagi kalau kondisi kemarau seperti ini, bisa panen 50 persen dari luas lahan sudah beruntung. Sekarang saya juga cuma bisa tanam padi setahun sekali, kalau zaman saya masih muda itu bisa setahun 3 kali,” kata Ali. (Wan)

Artikel Terkait

Berita Populer