Tuesday, May 13, 2025
BerandaBerita UtamaAhli Pidana FH UI Tegaskan Tidak Mungkin Ada Penipuan dalam Satu Perjanjian

Ahli Pidana FH UI Tegaskan Tidak Mungkin Ada Penipuan dalam Satu Perjanjian

progresijaya.id, JAKARTA – Dr. Eva Achjani Zulva, SH., MH., ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) menegaskan, bahwa tidak mungkin ada penipuan dalam suatu perjanjian.

Hal itu diungkapkannya di depan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH., MH., didampingi Budiarto, SH., dan Tiares Sirait, SH., MH., di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Senin (9/8-2021), ketika dirinya memberi pendapat sebagai ahli atas kasus penipuan dan atau penggelapan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Alex Wijaya dan Ng Meiliani.

Dia katakan, sebagaimana hasil dari beberapa buku yang dibacanya terkait penipuan (pasal 378 KUHP), dimana kalau kaitannya dengan sengketa bisnis, dasarnya adalah perjanjian, akan bersinggungan dengan para pihak yang mengatur dan menyepakati klausul-klausul yang diperjanjikan.

Ahli Pidana dari FH Universitas Indonesia Dr. Eva Achjani Zulva, SH., MH.

“Jadi ada keleluasaan dan kebebasan berkontrak. Kalau orang mau menipu orang lain, tidak mungkin dalam posisi seperti (adanya perjanjian) itu, karena ada pihak lain yang memverifikasi,” jelasnya di depan majelis hakim atas pertanyaan Tim penasehat hukum yakni, Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH., MH, VMF. Dwi Rudatiyani, SH, Johan Pratama Putra, SH, Purnawan Saragih, SH dan Gideon Satria Saro Zagoto, SH, serta Titus Adhi Sandjaya, SH dari Kantor Hukum “DR & Partners” terkait pasal 378 KUHP.

Karena itu, lanjutnya, dalam kesepakatan bersama yang disepakati secara lisan, meski tidak dituangkan dalam perjanjian, karenanya sangat kecil kemungkinannya ada terjadi penipuan.

Selain itu, ahli juga menjelaskan, bahwa pasal 378 KUHP dan pasal 372 KUHP bisa diukur dulu atau ditentukan oleh hakim perdata.

“Seperti pendapat ahli yang mengatakan bahwa putusan hakim perdata (PKPU kepailitan) tersebut adalah suatu kekuatan pembuktian absolut. Apakah bisa dikatakan bahwa ahli berkesimpulan bahwa perkara yang sedang disidangkan ini adalah harusnya dalam ranah keperdataan,” tanya VMF. Dwi Rudatiyani, SH salah seorang dari Tim penasehat hukum kedua terdakwa.

“Ya, saya katakan demikian ! Karena ketika ada putusan perdata yang berkaitan dengan suatu perkara pidana, dalam konteks ini kepemilikan atau penguasaan atas suatu barang atau berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan hak keperdataan, itu harus menjadi rujukan,” terang ahli.

Ditambahkannya, ketika ada satu putusan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara pidana dalam konteks kepemilikan atau penguasaan atas suatu barang atau masalah yang berkaitan dengan hak keperdataan itu harus menjadi rujukan.

Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH.,MH dan VMF. Dwi Rudatiyani, SH dua dari Tim penasehat hukum dari “DR & Partners”

Artinya, kata dia, kekuatan pembuktian putusan hakim perdata bisa membantu penyidik untuk menentukan ada atau tidaknya melawan hukum.

“Ahli, mohon penjelasannya, apabila seorang korban yang menceritakan kepada beberapa kawannya (lebih 10 orang) dan menjadikannya saksi, setelah melaporkan, tetapi pihak terlapor tidak mengakui tuduhan tersebut. Kemudian ke 10 orang lebih tersebut dalam kesaksiannya mengatakan, tidak pernah ada itu, tidak tahu mengenai hal itu, apakah itu memenuhi mengenai alat bukti,” tanya Rudatiyani kembali.

“Kalau bicara alat bukti, jelas membicarakan masalah kualitas dan kuantitas. Nilai yang besar angkanya besar dan itu pasti nilai kebenarannya atau yang mendekati kebenaran itu lebih tinggi dibanding nilainya yang kecil,” kata ahli berpendapat.

Tim penasehat hukum dari Kantor Hukum “DR & Partners” dari kiri ke kanan Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH.,MH, VMF. Dwi Rudatiyani, SH, Johan Pratama Putra, SH, Titus Adhi Sandjaya, SH, Purnawan Saragih, SH dan Gideon Satria Saro Zagoto, SH.

Dia mengilustrasikan, seorang mengatakan si A melakukan pembunuhan, tetapi ada 10 orang yang memberikan kesaksian mengatakan, bahwa bukan si A yang melakukan pembunuhan, maka secara validitas yang mendekati kebenaran adalah yang 10 dibanding dengan yang satu.

“Saudari ahli, bagaimana pendapat saudara ketika hutang yang belum dibayar, karena putusan kepailitan yang berarti telah ditangani kurator masih berproses,  apakah perbuatan tersebut bisa serta merta disebut sebagai tindak pidana atau melawan hukum,” tanya Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH., MH., juga salah seorang dari tim penasehat hukum kedua terdakwa.

“Saya kira tidak bisa serta merta dinyatakan sebagai pidana, kata2 menghapus piutang itu kan blm selesai, masih berproses ditangan kurator, belum bisa serta merta disebut sudah ada tindak pidana disana, berarti mengenai pasal 378 KUHP pun tidak terpenuhi semua,” tegas ahli.

Sebelumnya ahli pidana dari FH.UI memberikan pendapatnya, majelis hakim mengimbau Rumondang Sitorus, SH didampingi Sorta Afriani, SH sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta agar menghadirkan kedua terdakwa dipersidangan untuk didengar keterangannya sebagai terdakwa, Kamis (12/8-2021) di PN Jakarta Utara.

Penulis/Editor: Ari

Artikel Terkait

Berita Populer