progresifjaya.id, JAKARTA – Bicara proses hukum pasti ada celah hukum yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Ironisnya, celah itu tidak jarang dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum untuk mengambil kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Hal semacam itulah diduga terjadi dan dilakukan Wiyanto Halim. Menurut penasihat hukum Suherman Mihardja, Peter Wongsowidjojo, Wiyanto Halim menjual lahan yang bukan miliknya dengan menggunakan surat kuasa orang yang sudah meninggal dunia. Tidak itu saja, Wiyanto dapat memperdaya hakim PN Tangerang JS sampai akhirnya pengadil itu dinyatakan melanggar peraturan sesuai Surat Keputusan Majelis Hakim bersama Ketua Mahkamah Agung (MA) RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Semua itu terkait sengketa tanah di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda Tangerang. Johanes Gunadi yang disebutkan Wiyanto selaku pemilik tanah dan memberinya kuasa untuk menjual serta masih hidup, faktanya sudah meninggal dunia dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.
Menurut Peter, majelis hakim tidak mencermati fakta dan bukti di persidangan mengenai kepemilikan tanah tersebut. Padahal pada19 Desember 1988, Wiyanto Halim selaku pemegang kuasa berdasarkan Surat Kuasa No 82 dan No 83 yang dibuat oleh notaris Raden Muhamad Hendarmawan SH tanggal 23 Januari 1981 di Jakarta, telah melakukan transaksi jual-beli atas tanah-tanah milik Johannes Gunadi (alm) tersebut sesuai dengan ke-23 Akta Jual Beli (AJB) kepada (alm) Surya Mihardja, ayah Suherman Mihardja.
“Hal itu dikuatkan Surat Kuasa No 82 dan No 83 tanggal 23 Januari 1981 dengan Girik/Kohir/C hasil peleburan/penyatuan, yaitu C 2135 ke Surya Mihardja (alm) ayah Suherman Mihardja di hadapan Camat Batu Ceper, Drs Darmawan Hidayat yang tertuang dalam 5 (lima) AJB,” ungkap Peter di Jakarta (19/9/2020).
Ke-5 AJB itu masing-masing AJB No.703/JB/AGR/1988 tanah Hak Milik Adat No. C 2135, Persil No: 66/D.I seluas 23.010 M2, AJB No.704/JB/AGR/1988 tanah Hak Milik Adat No.C 2135, Persil No:61/S.II seluas 4.260 M2, AJB No.705/JB/AGR/1988 tanah Hak Milik Adat No.C 2135, Persil No:55/S.I seluas 3.720 M2, AJB No.706/JB/AGR/1988 tanah Hak Milik Adat No.C 2135, Persil No: 56/S.II seluas 28.510 M2, dan AJB No.707/JB/AGR/1988 tanah Hak Milik Adat No.C 2135 dan Persil No: 67/D.I seluas 2.880 M2.
“Ironisnya, Wiyanto Halim mengaku tidak melakukan transaksi jual beli. Bahkan memilih melaporkan orang tua klien saya ke pihak berwajib. Dikarenakan tidak bersalah, orangtua Suherman Mihardja divonis bebas murni dan sesuai putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 866K/Pid/1993 tertanggal 10 Februari 1998 menyatakan menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU),” tutur Peter.
Wiyanto Halim tidak menyerah. Dia menggugat perdata di PN Tangerang dengan nomor 542/PDT.G/2013/PN.TNG tanggal 30 September 2013. Akhirnya perkara mempunyai kekuatan hukum tetap (inchracht) dengan putusan menyatakan Suherman Mihardja sebagai pemilik tanah sebagaimana putusan MA No:3221 K/PDT/2015. “MA juga menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Wiyanto Halim sesuai dengan Putusan MA No 481 PK/PDT/2018,” ujar Peter.
Belum berhenti di situ saja, Wiyanto Halim diduga melakukan penipuan terhadap PT Profita Puri Lestari Indah (PPLI), salah satu perusahaan pengembang di Tangerang, pada tahun 2013. Ini juga masih terkait lahan yang telah dijualnya kepada (alm) Surya Mihardja, yang kini telah sah menjadi milik Suherman Mihardja sebagai ahli waris alm Surya Mihardja.
Dalam gugatan PT PPLI terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tangerang yang dilayangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang Banten dengan Nomor 40/G/2020/PTUN-SRG tertanggal 16 September 2020 terungkap, Wiyanto Halim menyerahkan 23 AJB tahun 1978 a/n Johanes Gunadi dan juga Girik/Letter C 2135 hasil peleburan/penyatuan atas Girik-girik pada 23 AJB tersebut kepada PT PPLI.
“Wiyanto Halim melakukan transaksi jual beli tersebut masih selaku pemegang kuasa berdasarkan Surat Kuasa No.82 dan No.83, yang dibuat oleh notaris Raden Muhamad Hendarmawan SH pada tanggal 23 Januari 1981 di Jakarta,” jelas Peter.
Menurut Peter, Surat Kuasa tersebut juga digunakan pada transaksi dengan orang tua kliennya. Namun, pada transaksi tersebut notaris Yan Armin SH berdasarkan Girik-girik pada 23 AJB sebenarnya (girik) sudah dilebur/disatukan menjadi Girik C-2135.
“Notaris Yan Armin telah menggunakan Girik/Letter C 2135 sebagai data transaksi yang dilakukan orang tua Suherman Mihardja pada tahun 1988,” kata Peter.
Oleh karenanya, Wijanto Halim dilaporkan oleh PT PPLI ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penipuan dan penggelapan sesuai dengan Pasal 378 dan pasal 372 KUPidana terkait transaksi jual beli seluas 60.000 meter persegi di Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang dengan kerugian sebesar Rp 11.964.800.000.
“Padahal tanah tersebut telah dijual kepada orangtua dari klien saya, Surya Mihardja pada tahun 1988. Sesuai dengan bukti kepemilikan 23 AJB tahun 1978 a/n Johanes Gunadi yang seharusnya Girik-girik pada AJB tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi,” ujarnya.
Menurut Peter, PT PPPLI dalam melakukan gugatan perdata yang ditujukan kepada Wiyanto Halim atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait transaksi jual beli di Notaris Yan Armin SH.
“Bukan menggugat Kantor Badan Pertanahan Kota Tangerang di PTUN Serang untuk membatalkan sertifikat milik klien kami, karena sertifikat atas nama klien kami Suherman Mihardja sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum,” pungkas Peter.
Wiyanto Halim maupun penasihat hukumnya yang berusaha dimintai tanggapan atas berbagai tudingan terkait permasalahan tanah di Desa Jurumudi, Tangerang, tidak berhasil.
Penulis: Arfandi Tanjung
Editor: Zulkarnain