progresifjaya.id, JAKARTA – Strategi dan gagasan ‘mengeroyok’ terus digelorakan oleh Kasat Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Iverson Manosoh untuk perang badar melawan peredaran narkoba. Hal ini terus dia utarakan dan sampaikan ke berbagai pihak di setiap kesempatan. Di setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan setiap hari.
Secara umum, konsep dan gagasan ‘mengeroyok’ yang jadi jurus patennya melakukan perang badar dengan narkoba ini adalah sebuah pendekatan dan ajakan untuk berkolaborasi.
Narkoba sebagai monster besar yang jahat dan terkutuk adalah target sasaran yang dibidik. Namun karena si target adalah sosok monster besar yang jahat, logikanya tak kan mungkin bisa tumbang jika dihadapi secara single fighter. Harus dihadapi bersama-sama. Dikeroyok dan diperkusi bareng-bareng. Meski pun ini juga tak menjamin bisa langsung menumbangkan dan melumpuhkan si monster.
Dalam perbincangannya dengan progresifjaya.id di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, perwira melati dua lulusan Bintara SPN Karombasan Sulawesi Utara berzodiak Gemini ini mengakui bahwa persoalan narkoba adalah persoalan multi kompleks. Ada banyak sisi yang harus bisa dicover dan ditangani. Dan untuk mengaktualisasikan semua itu secara utuh bukan pekerjaan mudah.
“Karena itulah saya unjuk keberanian untuk menggelorakan gagasan strategi ‘mengeroyok’ buat tempur perang badar dengan narkoba. Gagasan saya menggelorakan strategi ‘mengeroyok’ adalah paduan variabel hard power, soft power dan smart power. Ini bisa jadi jurus mematikan buat narkoba. Asalkan dijalani bersama dengan penuh komitmen,” terang mantan Koordinator Staf Pribadi Pimpinan (Koorspripim) Kapolda Metro Jaya era Komjen Fadil Imran ini bersemangat.
Dijelaskannya, secara konsep pendekatan soft power bukan sekadar melakukan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat. Pendekatan ini juga harus dibarengi stimulus pemahaman dan komitmen diri yang kuat untuk membentengi diri dengan nilai agama dan nilai sosial.
“Secara teoriti religi, narkoba itu adalah barang bawaan setan. Berarti perlawanannya harus lewat pendekatan diri secara menyeluruh kepada Tuhan melalui ibadah. Makin bagus dan intens kita beribadah, makin ketakutan setan buat mendekat. Yang ada dia malah kabur menjauh bersama barang bawaannya,” kata AKBP Iverson.
Pun begitu, lanjutnya, implementasi teori religi ini secara de facto juga diakui tak mudah dipraktikkan. Ada banyak variabel yang terlibat dan bisa saling memengaruhi. Mulai dari variabel orientasi sosial psikologis diri sendiri, variabel lingkungan keluarga, variabel lingkungan sekitar, hingga ke variabel pergaulan dan interaksi sosial media.
Benar-benar sangat kompleks dan penuh variasi. Butuh pemikiran keras, cerdas, dalam dan bijaksana buat mengurai, memetakan, mengidentifikasi dan merumuskan secara jitu jalan keluar yang tepat dan terbaik.
AKBP Iverson lalu mencontohkan rehabilitasi sebagai pointer peliknya mencari rumusan ini. Sebagai sebuah lembaga pusat rehabilitasi, tentu sudah disiapkan dan punya beragam modul pendidikan berikut SDM kompeten dan sarana penunjang buat menyembuhkan penyalahguna narkoba. Seperti Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido, contohnya.
Seperti diketahui, secara modul pendidikan Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido sekarang punya 5 program primary pendidikan buat peserta didiknya. Setelah tahapan pengenalan dan adaptasi di modul isolasi dan entry unit sebagai proses monitoring evaluasi fisik dan psikologi (MEFP) guna stabilisasi dan detoksifikasi, si penyalahguna narkoba selanjutnya akan masuk ke modul pembinaan dan pelatihan primary, entah di House of Hope, House of Care, House of Faith, House of Female atau di House of Growth buat anak-anak.
Setelah lepas dari pendidikan primary yang berlangsung antara 2 – 3,5 bulan, peserta rehab selanjutnya masuk ke tahap akhir yang disebut re-entry atau pascarehab sebelum dilepas kembali ke masyarakat.
Nah, saat tiba di fase kembali dilepas ke masyarakat, kepelikan mencari rumusan jalan keluar yang jitu seperti tadi dipikirkan AKBP Iverson pun pelan-pelan mengemuka. Apakah dijamin besar para peserta rehab yang sudah kembali ke masyarakat tak kan pernah mau lagi menyentuh narkoba? Apakah ada garansi besar mereka semua tak kan relaps?
“Inilah yang sekarang selalu saya pikirkan. Rehabilitasi adalah bagian dari variabel soft power. Saya harus mencari ahli yang bisa berkolaborasi membangun sinergitas pendekatan soft power buat menemukan titik jalan keluar penyembuhan yang tepat dan kuat,” ujarnya.
“Soalnya sudah ada banyak contoh nyata peserta penyahguna narkoba yang rehab bulanan tapi relaps lagi saat kembali ke masyarakat. Seperti pesinetron Ammar Zoni, Rio Reifan, dan Revaldo, misalnya. Itu aktor. Belum lagi masyarakat biasa yang jumlahnya jauh berlipat-lipat lebih banyak,” tambahnya.
Diakui AKBP Iverson, meski pendekatan diri dengan Tuhan melalui ibadah adalah jurus maut yang mematikan buat monster besar jahat bernama narkoba, namun pada pelaksanaannya tak mudah mengkondisikan mantan pecandu narkoba bisa seperti itu secara stabil dan berdurasi long term. Butuh pondasi pemahaman serta keyakinan diri yang super kuat untuk membuatnya bisa demikian. Caranya?
“Inilah yang harus dipikirkan dan dirumuskan secara keroyokan dengan semua pihak yang kapabel dan akuntabel. Kalau variabel hard power jelas dan ringkas straight to the point. Tindak tegas. Tangkap, penjara atau tembak mati di tempat. Selesai,” kata AKBP Iverson.
“Jaringan yang belum terjaring jadikan DPO dan kejar sampai dapat. Bandar yang tertangkap kita miskinkan dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar tak ada ruang lagi buat mereka bergerak. Ini khusus jadi bagian polisi dan BNN. Tapi bagaimana dengan varibel soft power dengan contoh yang tadi saya utarakan.”
“Saya sendiri orangnya memang agak-agak. Dan sudah jadi keahlian saya buat nangkap penjahat. Tapi kompleksitas masalah ini butuh jawaban penyelesaian yang tepat lebih dari itu. Jadi ayo kita keroyokan bahas dan pikirkan solusi terbaiknya seperti apa,” sambungnya lagi.
Dia menuturkan, masalah mantan pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi kemudian relaps lagi sebenarnya akibat ketidakmampuan diri untuk menangkis hawa kencang sugesti yang berembus dari berbagai penjuru mata angin. Gemblengan pendidikan primary rehabilitasi yang dijalani, ternyata kurang kokoh jadi benteng dirinya menahan embusan sugesti yang datang.
“Masalah sugesti adalah soal rasa. Dan narkoba adalah racikan bahan kimia bersifat adiktif yang bikin orang kecanduan. Bagaimana cara paling efektif buat melawan dan menetralisir persoalan rasa kecanduan itu. Lagi-lagi ini jadi bahan kita bersama untuk keroyokan cari jalan keluar paling efektif paling mujarab buat penyelesaiannya,” kata perwira menengah kelahiran 28 Mei 1970 yang pernah jadi bagian dari Satgas Anti Teror Densus 88 Mabes Polri ini.
Selanjutnya, AKBP Iverson juga mengungkapkan variabel smart power sebagai bagian dari strategi ‘mengeroyok’ yang dia gagas. Pendekatan ini lebih pada penekanan pemanfaatan teknologi dan media sebagai alur edukasi dan sosialisasi bahaya narkoba. Kunci pendekatan ini, sama halnya dengan variabel hard power dan soft power, juga adalah kolaborasi dan komitmen bersama yang kuat dengan semua pemangku kepentingan.
Saat ini, lanjutnya, secara de facto kolaborasi ketiga variabel tersebut sudah diwujudkan Polri secara sederhana dengan membentuk Kampung Tangguh Anti Narkoba (KTAN). Dan untuk wilayah hukum kerjanya, Kampung Tangguh Anti Narkoba ini akan diwujudkan secara utuh dan menyeluruh di kawasan Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Saya berencana menjadikan Kampung Bali sebagai pilot project penerapan secara utuh gagasan saya tentang strategi ‘mengeroyok’ yang saya maksud. Saya akan ajak dan libatkan semua pihak untuk tempur bersama-sama perang badar melawan dan menumbangkan monster besar jahat bernama narkoba. Termasuk membangun formula benteng diri yang kuat dan long term buat mengalahkan rasa sugesti yang kuat agar tidak relaps,” jelasnya lagi.
“Polri dan BNN saja tidak akan mampu mengalahkan si monster. Harus melibatkan seluruh elemen masyarakat buat mengeroyok dan persekusi si monster sampai lumpuh,” imbuhnya.
Steve Jobs dan Gagasan ‘Keroyok’ Narkoba
Semangat tinggi AKBP Iverson Manosoh memerangi narkoba disertai ide dan gagasan strateginya yang ‘agak-agak’ untuk memenangi perang mengingatkan kita pada satu ucapan brilian yang pernah dilontarkan Steve Jobs semasa hidup.
Mantan CEO Apple ini dulu pernah berucap dengan bahasa ibunya, “A powerful set of ideas and concepts can change the world”. Kalau ditarik ke bahasa kita bunyinya adalah, “Seperangkat ide dan gagasan yang kuat mampu mengubah dunia”.
AKBP Iverson sudah menelurkan ide dan gagasan kuat itu dengan rumusan dasar strategi ‘mengeroyok’ buat mengalahkan si monster narkoba. Dia juga tengah rajin-rajinnya menggelorakan dan mensosialisasikan strategi tersebut ke semua lapisan masyarakat dengan gaya dan model khasnya yang juga ‘agak-agak’. Mampukah dia mengubah dunia kehidupan masyarakat Indonesia menjadi bebas narkoba?
“Secara matematis harusnya bisa, tapi memang butuh waktu, butuh kerja keras dan komitmen bersama semua elemen masyarkat dan pemerintah,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, mengutip dari hasil pengukuran BNN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2023 kemarin bisa tercipta penurunan angka prevalensi atau jumlah keseluruhan kasus penyalahgunaan narkotika.
Pada tahun 2022, kata AKBP Iverson,
angka prevalensi terdata sebesar 1.95 persen. Berselang setahun, angka tersebut jadi 1,75 persen atau turun sebanyak 0,22 persen di tahun 2023.
Kalau dikomparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2023 yang 280,73 juta jiwa, berarti ada 4,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang menggunakan narkotika pada tahun 2023 dari rentang usia 15 – 64 tahun. Sementara di tahun 2022, dengan jumlah populasi pendudukan 275,5 juta jiwa dan prevalensi 1,95 persen, jumlah pengguna narkotika di Indonesia lebih tinggi lagi mencapai 5,3 juta jiwa.
Sedangkan untuk kategori pernah pakai, terusnya, juga terjadi penurunan dari 2,47 persen pada tahun 2022 menjadi 2,20 persen di tahun 2023.
“Berdasarkan data ini sudah jelas kalau masih jauh lebih banyak orang baik di negeri ini ketimbang yang keblenger. Tapi kita tetap tak bisa santai tinggal diam. Kenapa? Karena kalau dibiarkan, angka prevelansinya berpotensi cepat berkembang dan meluas. Jumlah penduduk Indonesia yang baik sedikit demi sedikit bakal dimakan sama monster narkoba. Bahaya. Bisa darurat narkoba Indonesia nanti,” urainya mengingatkan.
Lebih lanjut dirinya kembali membuka catatan, berdasarkan data Indonesia Drugs Report 2022 Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN, pada 2019, prevalensinya sebesar 1,80 persen. Lalu 2021 sekitar 1,95 persen atau naik 0,15 persen. Tahun 2022 prevelansinya masih bertahan dan baru bisa turun di tahun 2023 menjadi 1,75 persen.
Sementara pada peta rawan narkotika, total ada di 8.002 kawasan. Angka ini sudah turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 8.691 kawasan.
Dijelaskannya lagi, kejahatan luar biasa monster narkotika harus diakui sudah merasuki seluruh sendi kehidupan di Indonesia. Para bandar atau pengedaran tak cuma mengedarkan barang haram ke tempat hiburan, namun juga sudah masuk ke dalam tempat-tempat privasi, seperti indekos dan rumah, dan ruang publik. Begitu pula dengan status yang terpapar sudah masuk dari para pekerja, sekolah, pekerja rumah tangga, hingga pengangguran.
”Ini alarm bagi Indonesia. Dari pelajar hingga penegak hukum sudah terpapar. Begitulah realitanya. Ayo, harus cepat kita keroyok bersama-sama agar si monster lumpuh tak berdaya lagi,” kata AKBP Iverson menutup uraian gagasannya. (Bembo)