progresifjaya.id, BANGKOK – Gegara sebut “paman” kepada mantan PM Kamboja Hun Sen, Perdana Menteri Thailand Paethongtarn Shinawatra (39) dianggap melanggar konstitusi dan etika. Padahal kedua negara tetangga ini sedang panas dan terancam perang di perbatasan. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi mencabut sementara kekuasaan perdana menteri cantik ini mulai Selasa (1/7).
Sebenarnya panggilan “paman” itu dilakukan Paethongtarn saat berbicara di sambungan telepon. Namun pembicaraan rahasia itu bocor ke publik, hingga terjadi demo besar di negara Gajah Putih itu. Para pengunjuk rasa menganggap perdana menterinya telah merendahkan militer yang sudah siap perang dengan Kamboja.
Meski perdana menteri cantik itu sudah minta maaf, namun rakyat sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinan PM Paethongtarn Shinawatra yang baru seumur jagung.
Mahkamah Konstitusi sudah menjatuhkan skors kepada Paethongtarn hingga tak punya wewenang eksekutif lagi selama sidang MK itu berlangsung. Atas skors itu, ia menerimanya dengan lapang dada dan akan menjalani dengan baik. “Putusan telah keluar dan saya menerima keputusan MK,” kata wanita dengang julukang Ung Ing itu.
“Saya ingin menegaskan kembali niat saya untuk melakukan hal terbaik untuk negara saya,” ujar PM Thailand yang pernah menyambut hangat Presiden Prabowo saat kunjungan ke negara tersebut.
Pada akhir Juni lalu, Paethongtarn telepon Hun Sen dan membahas persoalan perbatasan Thailand-Kamboja. Dalam percakapan tersebut, Paethongtarn menyebut Hun Sen “paman” dan meminta eks PM Kamboja itu tak mendengar dari pihak lain yang disebut lawan.
Pernyataan itu merujuk ke militer Thailand di timur laut. Militer punya peran besar di kerajaan dan politikus biasanya lebih berhati-hati saat berbicara soal mereka. Lalu, percakapan di sambungan telepon itu bocor ke publik, hingga memicu reaksi keras dari rakyat.
Para legislator konservatif menuduh dia tunduk ke Kamboja dan melemahkan militer. Mereka juga menuduh Paethongtarn melanggar ketentuan konstitusional yang mensyaratkan “integritas yang jelas” dan “standar etika.”
Karena kasus itu pula, koalisi yang dipimpin Paethongtarn ditinggalkan partai pendukung terkuat. Dengan demikian, mayoritas suara di parlemen menipis dan hanya bisa mengandalkan partai lain.
Di luar itu, kasus Paethongtarn juga memicu demo besar-besaran di Thailand, terutama Bangkok. Sekitar 10.000 warga berkumpul untuk memprotes pemerintahan putri bungsu mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra.
Lalu, Mahkamah Konstitusi untuk pertama kalinya menggelar persidangan terkait kasus yang dituduhkan ke Paethongtarn. Mereka memutuskan PM Thailand itu diskors selama kasus disidangkan.
“Mahkamah Konstitusi dengan mayoritas 7-2 menangguhkan yang bersangkutan dari tugas perdana menteri mulai 1 Juli 2025 sampai Mahkamah Konstitusi membuat putusan,” demikian pernyataan MK Thailand, seperti dikutip AFP.
Editor: Isa Gautama