progresifjaya.id, JAKARTA – Jika di Indonesia, rakyat ‘diperas’ membayar pajak sebagai pemasukan (income) negara. Sebaliknya, Korea Selatan (Korsel) malah membagi-bagikan uang kepada rakyatnya. Bahkan orang asing yang tinggal di negara ginseng itupun mendapat jatah uang tunai. Inilah sebenarnya yang patut ditiru oleh pemerintah Indonesia. Rakyat harus diberikan duit tanpa ribet dengan birokrasi seperti bantuan langsung tunai (BLT), karena pembagiannya tidak tepat sasaran.
Pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi juga bisa jadi pedoman agar rakyat dapat duit dari APBD yang tinggi seperti Jakarta. KDM nama populer Dedi Mulyadi pernah bilang, jika dia jadi Gubernur Jakarta yang APBD nya Rp 91 triliun, maka sebagian anggaran yang besar itu akan dibagikan Rp 10 juta kepada setiap keluarga di bekas DKI itu yang penduduknya hanya 11 juta. KDM membandingkan dengan Provinsi Jabar yang anggarannya hanya Rp 31 triliun tapi penduduknya 50,6 juta jiwa.
Lain lagi dengan mantan Menkopolhukam Mahfud MD yang memberi perumpamaan korupsi timah Rp 300 triliun dapat dibagikan kepada seluruh rakyat masing masih Rp 20 juta. Masyarakat memang berharap begitu, duit triliunan hasil sitaan Kejagung yang sering dipamerkan ke khalayak ‘mendingan’ dibagikan langsung kepada rakyat secara merata. Soalnya jika disita untuk negara, maka uang tersebut akan kembali hanya kepada rakyat ‘tertentu’ sebagai anggaran belanja para pejabat pengelola negara maupun daerah, tidak langsung ke rakyat. Tapi Itu hanya pendapat rakyat awam saja.
Nah, di Korsel Presiden Lee Jae Myung yang baru menjabat sebulan meluncurkan program pemberian uang tunai besar-besaran kepada rakyatnya. Dia memberi anggaran tambahan sebesar 31,8 triliun won (lebih dari Rp377,9 triliun). Program ini digambarkan para pejabatnya sebagai ‘kupon konsumsi’ untuk meningkatkan pengeluaran dalam negeri dan menyegarkan kembali ekonomi negara yang sedang lesu.
Inisiatif tersebut merupakan bagian dari anggaran tambahan tersebut yang disahkan oleh Majelis Nasional (Parlemen) akhir pekan lalu.
Program ini dijadwalkan akan dimulai pada 21 Juli dan berlangsung hingga 12 September 2025 mendatang. “Kami akan memastikan persiapan menyeluruh untuk peluncuran pembayaran ini sehingga dapat berfungsi sebagai katalisator pemulihan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi dan mendukung mereka yang membutuhkan,” kata Wakil Menteri Dalam Negeri Kim Min-jae, yang memimpin gugus tugas antarlembaga pengawas inisiatif tersebut.
Semua warga negara yang tinggal di Korea Selatan mulai 18 Juni sudah menerima pembayaran satu kali sebesar 150.000 won (Rp1,7 juta).
Pencairan akan dilakukan melalui kartu kredit atau debit, kartu prabayar, atau sertifikat hadiah yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat. Dukungan tambahan akan menargetkan kelompok rentan. Rumah tangga yang hampir miskin dan keluarga dengan orang tua tunggal akan menerima 300.000 won, dan penerima tunjangan hidup dasar mendapatkan 400.000 won. “Mereka yang tinggal di daerah pedesaan akan menerima tambahan 50.000 won untuk mendorong pembangunan daerah yang seimbang,” kata Kementerian Dalam Negeri Korea Selatan, seperti dikutip dari Korea Herald, Minggu (6/7).
Pembayaran tahap kedua, yang direncanakan pada 22 September hingga 31 Oktober, akan memberikan 100.000 won kepada 90% penerima pendapatan terbawah. Kelayakan penerima akan ditentukan berdasarkan premi asuransi kesehatan nasional, dengan rincian akan diumumkan pada bulan September.
Korea Selatan merupakan ekonomi terbesar keempat di Asia yang nyaris mengalami resesi teknis pada tahun 2024 karena pertumbuhan terhenti pada paruh kedua tahun ini. Menyusul kontraksi pada kuartal kedua dan pemulihan yang lemah pada kuartal ketiga. Penurunan tersebut secara luas dikaitkan dengan ketidakstabilan politik dalam negeri, yang berpuncak pada pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol saat itu atas tuduhan pemberontakan setelah dia sempat memberlakukan darurat militer pada bulan Desember.
Presiden Lee Jae-myung yang baru terpilih, mulai menjabat pada tanggal 4 Juni, memperkenalkan paket stimulus yang mencakup bantuan tunai dan voucher digital, serta menjanjikan investasi dalam infrastruktur AI untuk mendorong pertumbuhan. Namun, beberapa ekonom memperingatkan kemungkinan dampak inflasi dan risiko jangka panjang terhadap kesehatan fiskal, karena Kementerian Keuangan berencana untuk mendanai langkah-langkah stimulus melalui utang baru, dengan memproyeksikan defisit fiskal sebesar 4,2% dan utang nasional sebesar 49,1% dari PDB.
Editor: Isa Gautama