progresifjaya.id, JAKARTA – Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menganulir nilai kerugian keuangan negara di kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang – Langsa di Balai Perkeretaapian (BTP) Medan tahun 2015-2023 sebesar Rp 1,1 triliun. Menurut hakim, nilai kerugian negara di kasus ini hanya sejumlah Rp 30,8 miliar.
Duduk sebagai terdakwa dalam perkara rasuah ini adalah Kepala BTP Medan sekaligus kuasa pengguna anggaran Nur Setiawan Sidik (2016-2017) dan Amanna Gappa (2017-2018). Dan dua pihak swasta yakni Arista Gunawan selaku team leader tenaga ahli PT Dardela Yasa Guna, serta Freddy Gondowardojo selaku pemilik PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Bersama.
Sedangkan tiga terdakwa lain di perkara yang sama, disidangkan secara terpisah (splitzing) dengan majelis hakim berbeda. Mereka yakni Akhmad Afif Setiawan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) periode (2017-2019); Halim Hartono PPK (2019-2022); dan Kepala Seksi Prasarana BTP Medan (2016-2018) sekaligus Ketua Pokja Pengadaan, Rieki Meidi Yuwana.
Majelis hakim menyatakan, tidak sependapat dengan hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 13 Mei 2024 terkait nilai kerugian keuangan negara dalam perkara ini.
Hakim melandaskan pertimbangannya pada fakta hukum berupa keterangan para saksi dan terdakwa di persidangan. Kemudian berdasar surat Inspektorat Jenderal Kemenhub Nomor PS.0306 tanggal 7 Oktober 2021 perihal hasil audit kinerja Inspektorat II pada September 2021, yang menyatakan bahwa progres pekerjaan proyek sudah mencapai 98 persen.
“Sehingga menurut pendapat majelis hakim tidak adil apabila pekerjaan pembangunan jalur KA Besitang-Langsa pada BTP Medan 2015-2023 dihitung secara total loss atau kerugian negara total, yang hanya mendasarkan pertimbangan belum bisa dimanfaatkan atau belum dioperasionalkan,” kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto membaca pertimbangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 25 November 2024.
Hakim menganggap, jika kerugian keuangan negara dihitung secara total loss karena belum bisa digunakan, maka negara tidak berbuat adil dan mengambil keuntungan tidak sah dari terdakwa.
Karena senyatanya proyek tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa. Dan barang-barang yang terpasang sudah dibeli dengan menggunakan uang dari hasil pembayaran pekerjaan jalur KA Besitang-Langsa.
Rincian penghitungan hakim yakni dari jumlah pencairan paket DED 10 sebesar Rp 7,9 miliar, yang ternyata tidak ada hasil pekerjaan. Kemudian dari jumlah pencairan pekerjaan konstruksi dan supervisi jalur KA Besitang-Langsa sebesar Rp 1.149.186.416.220 triliun dikalikan progres pekerjaan 98 persen, hasilnya Rp 1.126.202.687.902. Maka selisihnya Rp 22.983.728.325.
“Sehingga jumlah total kerugian keuangan negara menjadi Rp 30.885.165.420,” beber hakim.
Adapun kewenangan majelis hakim menghitung kerugian negara berdasarkan angka 16 Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) RI Nomor 4 Tahun 2016. Surat edaran ini menyebut bahwa hakim dapat menilai adanya kerugian negara dan besaran kerugian negara berdasar fakta di persidangan.
“Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat, unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa,” sambungnya.
Hakim menyatakan, keempat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan jalur KA Besitang-Langsa 2015-2023. Hakim menilai, perbuatan terdakwa Nur Setiawan Sidik dkk terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUH Pidana sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Nur Setiawan Sidik, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun. Dan pidana denda sebesar Rp 250 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” ucap hakim membacakan amar putusannya.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada Nur Setiawan sejumlah Rp 1,5 miliar. Uang ini dari adanya penerimaan fee dari terkait pekerjaan paket pekerjaan jalur KA Besitang-Langsa.
Uang pengganti wajib dibayarkan selama 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun.
Kemudian, terdakwa Amanna Gappa divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara. Dia juga dikenakan pidana denda Rp 250 juta subsider 3 bulan, serta wajib membayar uang pengganti Rp 3,2 miliar subsider 2 tahun kurungan.
Selanjutnya untuk terdakwa Freddy Gondowardojo divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara, juga pidana denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Freddy pun diharuskan membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar subsider 1,5 tahun kurungan.
Sementara terdakwa Arista Gunawan divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 subsider 3 bulan kurungan. Hakim menganulir pidana uang pengganti terhadapnya, sejumlah Rp 12,3 miliar subsider 4 tahun hukuman badan sebagaimana tuntutan jaksa.
Menurut hakim, yang menerima uang tersebut adalah perusahaan tempat Arista Gunawan bekerja, PT Dardela Yasa Guna. Sedangkan terdakwa hanya menerima upah atau gaji dari pekerjaannya. Sehingga uang pengganti tersebut seharusnya dibebankan kepada PT Dardela, tempat Arista Gunawan bekerja.
Hakim menyebut, pertimbangannya sesuai dengan Pasal 18 Ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Yang menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan bukan sebesar kerugian negara yang ditimbulkan oleh terdakwa,” jelas hakim.
Sebelum menjatuhkan vonis, hakim membacakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas diri para terdakwa. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan terdakwa ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi.
“Hal meringankan, terdakwa berlaku sopan selama persidangan, terdakwa memiliki tanggungan keluarga, dan terdakwa belum pernah dihukum,” kata hakim.
Usai pembacaan putusan, hakim Djuyamto mempersilakan para terdakwa berkonsultasi dengan penasihat hukumnya masing-masing untuk menentukan sikap.
Kemudian, terdakwa Nur Setiawan Sidik, Amanna Gappa, Arista Gunawan, dan Freddy Gondowardojo menyatakan pikir-pikir. Mereka belum dapat menentukan sikap apakah menerima atau bakal banding atas vonis hakim.
“Baik. Penuntut umum, pikir-pikir juga?” tanya hakim kepada jaksa.
“Kami juga pikir-pikir,” jawab jaksa.
Putusan Perkara Serupa Secara Terpisah
Sementara dalam sidang putusan perkara serupa secara terpisah untuk tiga terdakwa lainnya, Halim Hartono selaku PPK dijatuhi hukuman paling tinggi. Dia divonis penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 4 bulan kurungan badan.
“Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 28,5 miliar,” ucap ketua majelis hakim Maryono di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 25 November 2024 malam.
Kata hakim, jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama selama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika tidak dapat membayar uang pengganti, maka dipidana penjara 3 tahun dan 6 bulan.
Sementara Akhmad Afif Setiawan divonis penjara selama 6 tahun dan denda Rp 750 juta subsider 4 bulan penjara. Dia juga dikenakan pidana uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar subsider 2 tahun kurungan.
Kemudian terdakwa Rieki Medi Yuwana divonis pidana penjara selama divonis 5 tahun dan pidana denda Rp 750 juta subsider 4 bulan. Ia juga wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp 785 juta subsider 1 tahun kurungan badan.
Majelis hakim menyatakan, Halim Hartono, Akhmad Afif, dan Rieki Medi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Perbuatan ketiga terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUH Pidana.
Hakim menganggap, ketiga terdakwa melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan wewenangnya dalam proyek pembangunan jalur KA Besitang-Langsa tersebut.
Selain itu, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan hasil audit perhitungan keuangan negara dari BPKP. Hakim berpendapat bahwa kerugian negara dalam perkara pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa tahun anggaran 2017, 2018 dan 2019 yang dilaksanakan dari tahun 2017 sampai 2023 adalah sejumlah Rp 562,5 miliar.
“Bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan oleh penyimpangan dalam pekerjaan perencanaan, pelelangan, dan pelaksanaan penanganan konstruksi pembangunan jalur kereta api antara Besitang-Langsa tahun anggaran 2017 sampai dengan 2019,” papar hakim anggota Nofalinda Arianti dalam pertimbangannya.
Adapun rincian kerugian keuangan negara menurut pendapat majelis hakim terdiri dari tiga aspek. Pertama, dari nilai pekerjaan review design pembangunan jalur KA antara Sigli-Bireun dan Kuta Blang-Lhoksumawe-Langsa-Besitang kegiatan tahun 2015, paket DED 10 tahun 2015 sebesar Rp 7,9 miliar.
Kedua dari rancangan penanganan amblasan sejumlah Rp 531,9 miliar. Dan dari pekerjaan track paket BSL 16 yang telah dibayarkan sebesar Rp 22,6 miliar.
Sementara para terdakwa maupun penasihat hukumnya masing-masing menyatakan pikir-pikir atas vonis hakim tersebut. Keputusan yang sama diucapkan jaksa penuntut umum Kejagung. (AT)