progresifjaya.id, CIANJUR – Menjelang Pilkada Serentak 2020 di Cianjur, ditemukan beberapa situasi politik yang menarik. “Kegairahan ini hanya baru dinikmati sekelompok saja, sementara masyarakat lainnya tak hirau dengan hajat tahunan ini. Karena dari sebagian orang berpandangan Pemilu atau Pilkada tak lebih dari sebuah ritual sosial dari momen politik untuk mengubah nasib kelompok tertentu di suatu daerah, dengan janji-janji politik yang dikemas sedemikian rupa, untuk mengantarkan kemenangannya”.
Hal tersebut disampaikan Ketua Himpunan Masyarakat Peduli Demokrasi (HMPD) Cianjur, Saepul Anwar.
Menurutnya, untuk menarik perhatian masyarakat para calon kandidat telah mulai menyampaikan jargon andalan, dengan tujuan agar mudah dikenal dari lebih jauh agar diidolakan masyarakat.
Dan di sisi lain ditemukan juga calon kandidat yang memanfaatkan penyaluran bantuan sosial penanganan Covid-19 untuk kepentingan politik pribadi. Pemanfaatan penyaluran bansos itu dilakukan dengan beberapa modus, diantaranya memberi label gambar kepala daerah, dengan menyertakan simbol-simbol politik atau jargon kampaye.
Kendati peraturan perundang-undangan tidak melarang siapapun untuk memberikan bantuan sosial, namun sepantasnya pendistribusian bantuan tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik.
Lebih jauh HPMD menemukan pernyataan calon kandidat kepala daerah Cianjur, yang akan menambah honorarium RT/RW, apabila dirinya terpilih, yang mana hal tersebut disampaikan tanpa menjelaskan secara rasional sumber alokasi anggaran daerah (APBD).
“Dan ironisnya, ada draf visi-misi yang bertolak belakang dengan kondisi Cianjur, baik secara demografi, ekonomi, geografis maupun filosofi yang kental dengan masyarakat yang agamis (tatar santri),” ungkapnya.
Dari ragamnya janji-janji politik tersebut, muncul sebuah pertanyaan masyarakat yang mengemuka, “Apakah janji politik kepala daerah dapat dituntut secara hukum?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya, tentu kita perlu mengetahui apa yang disebut “perjanjian”.
Menurut hukum perdata, ‘perjanjian’ adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dan dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu (Subekti, Hukum Perjanjian (hal.1)).
“Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal (adanya prestasi pada kedua belah pihak). Itu artinya hubungan hukum yang timbul dari perjanjian adalah hubungan yang saling timbal balik dari pihak yang berjanji untuk melakukan suatu hal,” jelas Saepul Anwar.
Berdasarkan hal tersebut, ‘janji politik’ tidak termasuk janji yang dimaksudkan oleh perjanjian dalam konteks hukum perdata karena ‘janji politik’ hanya dilakukan oleh calon kandidat yang berjanji pada masa kampanye, pemilih juga tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari ‘janji politik’ tersebut.
Dengan demikian, ‘janji politik’ yang disampaikan oleh kandidat dalam kampanye tidak dapat dikatakan sebagai janji dalam konteks hukum perdata dan jika ada keingkaran, maka tidak dapat dilakukan gugatan terhadap kandidat tersebut, karena keingkaran tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wanprestasi janji.
Kendati secara hukum perdata ‘janji politik’ tidak dapat dijerat secara hukum, namun namun perlu diketahui bahwa janji politik tersebut dituangkan dalam visi, misi dan menjadi Rancangan Pembangunan Jangka Pendek (RPJPD) dan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Dengan dokumen hukum RPJPD, RPJMD tersebut, maka DPRD sebagai lembaga yang mewakili rakyat inilah yang memiliki kekuatan untuk menekan hingga memberhentikan kepala daerah terpilih yang melanggar janji kepada masyarakat selama masa kampanye,” katanya.
Janji politik yang dikemas dalam sebuah visi-misi, adalah bentuk penegasan komitmen janji politik mereka terhadap masyarakat, yang umumnya hanya lips service (hanya ungkapan yang tidak disertai perbuatan nyata), dan sebuah persyaratan normatif kandidat untuk menipu publik.
Nah, apabila ditemukan pengingkaran terhadap komitmen (janji politik) yang pernah disampaikan dan telah ditetapkan sebagai visi-misi kandidat terpilih, maka patut dipertanyakan integritas dan moral pemimpin terpilih tersebut.
Menurutnya, masyarakat pemilih tentu punya ekspektasi terhadap pemimpin yang terpilih, yaitu merealisasikan janji-janji politiknya pada saat masa kampanye. Menilai integritas calon pemimpin adalah memang layak digunakan untuk menilai kualitas sesungguhnya dari seorang calon pemimpin.
“Dengan demikian, ‘integritas calon pemimpin’ diyakini akan memberi pengaruh besar terhadap kemajuan institusi. Pengetahuan, keahlian dan visi memang diperlukan, tapi tanpa integritas, semua itu hanyalah hiasan yang bisa jadi dimanfaatkan untuk mengelabui rakyat,” pugkasnya.
Penulis: Endang Suryatna
Editor: Hendy