progresifjaya.id, JAKARTA – Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dipimpin Triyana menyampaikan bahwa saksi Yudi Wahyudi dari Kementerian Pertanian mengungkapkan ada pengabaian terkait tidak bolehnya melakukan importasi di masa puncak giling di Indonesia.
“Satu saksi yakni Yudi Wahyudi dari Kementerian Pertanian telah kami periksa dan mendapatkan fakta, bahwa ternyata musim giling di Indonesia itu sekitar bulan Mei sampai November. Musim produksinya itu di Juni sampai dengan November. Sedangkan produk impor di 2015 yang dikeluarkan semasa Menteri Thomas Trikasih Lembong (TTL) itu di bulan Oktober. Sehingga, berdasarkan Permen Perindag 527 itu ada ketentuan yang disimpangi atau yang diabaikan yaitu terkait tidak bolehnya melakukan importasi di masa puncak giling di Indonesia,” ujar Triyana kepada wartawan di sela sidang dugaan kasus impor gula dengan terdakwa Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, Senin (28/4/2025) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Dalam sidang lanjutan tersebut, JPU menghadirkan delapan saksi dari Kementerian Pertanian dan direksi serta pejabat di Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Perkara ini menjerat eks Menteri Perdagangan (Mendag) 2015 – 2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
“Kita akan menghadirkan tujuh orang saksi yang seluruhnya direksi maupun pejabat pejabat di PT PPI. Nanti kita akan mendengarkan keterangan-keterangan saksi ini terkait dengan pembuktian dakwaan kami,” kata Triyana.
Ketujuh orang saksi itu direksi, direktur keuangan dari PT. PPI dan beberapa jajaran lainnya yang pada intinya, kata Triyana, mereka akan menjelaskan bahwa di tahun 2016, PT. PPI sebetulnya tidak memiliki kemampuan finansial, posisi perusahaannya itu tidak dalam keadaan sehat. Namun terdakwa TTL tetap memberikan penugasan untuk melakukan importasi gula mentah.
Dalam faktanya, dalam importasi gula kristal mentah ini akhirnya PT PPI dikerjasamakan dengan delapan perusahaan swasta yang sebetulnya perusahaan itu merupakan perusahaan gula rafinasi. Menurut ketentuan tidak diperbolehkan untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih yang kemudian dibeli kembali oleh PT. PPI dalam rangka stabilisasi harga.
“Pada intinya, persidangan kali ini kita menekankan bahwa dalam konteks stabilisasi harga dan pemenuhan stok gula berdasarkan Permendag No 117 Tahun 2015 tentang mekanisme yang dibenarkan oleh undang undang yaitu melakukan importasi melalui mekanisme importasi Gula Kristal Putih (GKP) langsung yang dilakukan oleh BUMN tanpa melalui campur tangan pihak swasta seperti itu,” jelas dia.
“Nanti mungkin di sini apa kita akan hadirkan beberapa saksi yang akan menjelaskan bahwa pada akhirnya PT. PPI itu membeli di harga di atas harga HPP yang disarankan oleh ketentuan perundang-undangan dari pihak swasta nanti itu akan menjadi komponen dari kerugian keuangan negara yang akan dihitung oleh BPKP,” pungkas Triyana.
Hakim Marah
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Alfis Setiawan marah saat mendengar perusahaan dan distributor gula ditunjuk Kementerian Perdagangan (Kemendag). Peristiwa ini terjadi ketika Hakim Alfis mencecar eks Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Dayu Dayu Padmara Rengganis sebagai saksi dugaan korupsi importasi gula.
Mulanya, saat dicecar Hakim Alfis, Dayu menyebut staf khusus Tom Lembong, Gunaryo memerintahkan PT PPI harus bekerja sama dengan 8 perusahaan yang telah ditunjuk Tom Lembong untuk mengimpor gula.
“Beliau dipanggil oleh Pak Mendag Thomas Lembong dan diminta untuk menyelenggarakan rapat antara PPI dengan 8 perusahaan tersebut dan nama namanya diberikan oleh Thomas Lembong kepada Pak Gunaryo,” kata Dayu, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).
Setelah itu, Hakim Alfis menggali soal sumber dana yang digunakan PT PPI untuk bekerja sama dengan 8 perusahaan swasta itu. Sebab, kondisi keuangan PT PPI saat itu sangat buruk. Dayu mengungkapkan, Tim Gula yang dipimpin Direktur Pengembangan PT PPI Charles Sitorus, melapor bahwa sudah ada kesepakatan antara perusahaan negara tersebut dengan 8 perusahaan importir bahwa dananya berasal dari distributor.
“Jadi skema bisnisnya adalah dari uang PPI dan uang PPI itu berasal dari DP distributor yang akan menjual gula kristal putih itu,” ujar Dayu.
Menurut Dayu, saat penandatanganan kontrak harga sudah terdapat 7 perusahaan yang akan menjadi distributor. Mereka akan berperan mendistribusikan gula kristal putih (GKP) dari 8 perusahaan swasta. Adapun GKP itu berasal dari gula kristal mentah (GKM) yang diimpor 8 perusahaan tersebut.
“Kalau saya nangkap keterangan Ibu ini, gula diimpor, GKM diimpor oleh 8 perusahaan itu kemudian diolah menjadi GKP, kemudian dibeli oleh PPI. Kemudian PPI menjualnya kepada distributor, begitu? Alurnya begitu?” tanya Hakim Alfis. Dayu pun membenarkan kesimpulan Hakim Alfis tersebut.
Hakim ad hoc Tipikor itu kemudian menanyakan siapa yang menunjuk 7 perusahaan distributor tersebut. Menurut Dayu, pihak Kemendag telah menunjuk 7 perusahaan distributor saat rapat teknis dengan 8 perusahaan yang mengimpor gula.
Mendengar ini, Hakim Alfis marah. Ia mempertanyakan peran PT PPI yang diketahui sebagai perusahaan BUMN. “Luar biasa ini ya? 8 perusahaan ditentukan oleh Kemendag, kemudian 7 distributor juga ditentukan Kemendag. Apa tugas PPI di sini? Numpang lewat saja? PPI punya cabang tidak? Seluruh Indonesia?” tanya Hakim Alfis dengan nada tinggi.
Dayu menjelaskan, PT PPI memiliki 33 cabang yang di Tanah Air yang bertugas menjual produk-produk PT PPI, termasuk gula kristal putih atau gula pasir.
Hal ini pun membuat Hakim Alfis semakin heran karena PT PPI bekerja sama dengan distributor swasta. Padahal, mereka bisa menggunakan 33 cabang yang dimiliki atau bekerja sama dengan Bulog.
“Menggunakan distributor yang swasta, pasti ada beban biaya tambahannya. Kenapa sedemikian rupa ini? Luar biasa ini? Kenapa Bu? Ibu kan dirut? Apa yang dilaporkan? Kenapa alurnya seperti ini?” tanya Hakim Alfis heran. “Kami hanya melaksanakan penugasan,” jawab Dayu.
Dalam perkara ini, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa menuding Tom melakukan perbuatan melawan hukum karena menerbitkan kebijakan impor tanpa berkoordinasi dengan kementerian lain. (AT)