Monday, April 28, 2025
BerandaBerita UtamaJaksa Agung Keluarkan Surat Penghentian Penuntutan Karena Dasar Perdamaian

Jaksa Agung Keluarkan Surat Penghentian Penuntutan Karena Dasar Perdamaian

progresifjaya.id, JAKARTA – .Jaksa Agung mengeluarkan Surat Kejaksaan RI perihal penghentian penuntutan terhadap terdakwa pada bulan Juli 2020.

Peraturan tersebut tertuang dalam surat Nomor 15 Juli tahun 2020, bahwa pada pokok intinya; Jaksa Penuntut Umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu jika para pihak sudah sepakat berdamai.

Dalam surat tersebut JPU bisa menjadi mediator di antara para pihak yang berperkara. Jika para pihak sudah bersepakat berdamai maka JPU dapat menghentikan penuntutan dan pembebasan terhadap terdakwa dari dalam kurungan penjara.

Terkait surat keputusan tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Advocat Indonesia (PAI), Dr. Sultan Junaidi S. SH., MH., mengapresiasi langkah kemajuan yang dicapai oleh Kejagung dalam menerapkan hukum di Indonesia.

Menurutnya, keputusan Itu merupakan keputusan yang tepat, karena kembali kepada ruh Dasar Hukum Negara yakni Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yaitu kata “Musyawarah dan Mufakat”.

“Keputusan tersebut sangat banyak sisi positif lainnya diantaranya, dapat mengurangi beban pemerintah dalam anggara warga binaan di Lembaga Permasyarakatan. Selama ini, kita ketahui bahwa anggara pemerintah sangat besar sekali untuk memberi makan para warga binaan, dan lembaga pemasyarakatan pun sudah semuanya over kapasitas, dan ini tentu kita harus terus mendorong demi kemajuan hukum di negara kita,” imbuhnya.

“Surat keputusan tersebut juga sangat seirama dengan keputusan Mahkamah Agung terkait penyelesaian perkara yang nilai kerugiannya di bawah tiga (3) juta rupiah, agar tidak diproses lebih lanjut dan dilakukan perdamaian diantara para pihak,” lanjutnya

Sebagai seorang advokat tentu para advokat bisa melakukan memajukan hukum dengan melakukan “Mediasi Penal” yakni menyelesaikan perkara di luar persidangan, dengan azas musyawarah dan mufakat diantara para pihak yang berperkara.

Advokat menjadi sebagai mediator dalam proses perdamaian tersebut, kemudian nembuatkan akta Van Dading (akta Perdamaian/Kesepakatan Para Pihak).

Tentu, sambungnya dilansir dari medianasional.com, hal tersebut kembali kepada hati nurani dan itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan cara musyawarah dan mufakat demi terciptanya perdamaian yang sesungguhnya.

“Sisi positif lainnya selain mengurangi beban APBN, adalah meringankan beban penumpukan perkara di kepolisian, menyelesaikan terjadinya penumpukan perkara di Pengadilan Negeri (PN) menghemat biaya proses perkara dan menghemat waktu. Maka sudah sepatutnya kita sambut dan berikan apresiasi yang luar biasa kepada bapak kepala kejaksaan Agung Republik Indonesia Burhanuddin atas keputusan beliau tersebut,” ungkap Sultan Junaidi.

Dasar Perdamaian

Peraturan Kejaksaan RI No. 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan Restoratif ini ada 2 dasar utama yang menjadi pertimbangan yaitu:

  1. Penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanan kewenangan penuntutan dan pembaruan sistem peradilan pidana; dan
  2. Jaksa Agung bertugas dan berwenang mengefektifkan proses penegakkan hukum yang diberikan Undang – Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut, maka peraturan ini berfokus penghentian penuntutan pada perkara yang telah diselesaikan di luar pengadilan dan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Penghentian penuntutan dalam pendekatan keadilan restoratif ini berdasarkan pada pertimbangan sejumlah prinsip – prinsip yaitu:

  1. Kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi
  2. Penghindaran stigma negatif
  3. Penghindaran pembalasan
  4. Respon dan keharmonisan masyarakat; dan
  5. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umjum

Karena itu tersangka yang berhak mendapatkan penghentian penuntutan karena perdamaian, menurut peraturan ini, juga dibatasi yaitu:

  • Baru pertama kali melakukan kejahatan
  • Perbuatannya hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun
  • Nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2,5 juta

Lalu bagaimana supaya dapat dilakukan penghentian penuntutan atas dasar perdamaian?

Peraturan ini mengatur bahwa ada 3 syarat yang penting untuk diperhatikan yaitu

  1. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula dengan cara: (a) mengembalikan barang yang diperoleh dari kejahatan; (b) mengganti kerugian korban; (c) mengganti biaya yang timbul dari kejahatan; dan/atau (d) memperbaiki kerusakan yang timbul dari kejahatan;
  2. Telah ada kesepakatan perdamaian; dan
  3. Masyarakat merespon positif.

Tata Cara Perdamaian

Terdapat dua komponen dalam tata cara penghentian penuntutan atas dasar perdamaian, yaitu upaya perdamaian dan proses perdamaian. Upaya perdamaian ini merupakan upaya yang ditawarkan oleh penuntut umum saat memasuki tahap penuntutan, tanpa adanya tekanan, paksaan dan intimidasi.

Tahap upaya perdamaian ini dimulai dengan pemanggilan terhadap korban oleh penuntut umum diikuti dengan pemberitahuan alasan pemanggilan, maksud dan tujuan upaya perdamaian, hak dan kewajiban korban dan tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian. Selain korban, upaya perdamaian ini juga bisa melibatkan keluarga korban/ tersangka, tokoh/ perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait apabila diperlukan.

Dalam hal tawaran upaya perdamaian diterima oleh korban dan tersangka, upaya ini kemudian dilanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu proses perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian ditolak oleh korban dan/ atau tersangka, maka penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan.

Proses Perdamaian

Penuntut umum yang ada diproses perdamaian berperan sebagai fasilitator, yang tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, korban maupun tersangka baik secara pribadi maupun profesi.

Proses perdamaian dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh tersangka, proses ini dilakukan di kantor Kejaksaan.

Setelah itu, jika proses perdamaian telah tercapai, korban dan tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan penuntut umum yang isinya:

  1. Sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu
  2. Sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu

Apabila kesepakatan perdamaian telah tercapai, maka penuntut umum melanjutkan untuk lapor ke Kepala Cabang/Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian, di samping laporan yang disampaikan, penuntut umum juga meminta persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

Editor: Hendy

Artikel Terkait

Berita Populer