Friday, April 26, 2024
BerandaOpiniJudicial Review UU Pers Oleh Wartawan “Ngaco”

Judicial Review UU Pers Oleh Wartawan “Ngaco”

Oleh: Hartanto Boechori

UU PERS “diobok-obok”, pelakunya ngakunya “wartawan”. Yang lalu, Dewan Pers digugat di pengadilan umum, dimenangkan Dewan Pers sampai tingkat banding dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Sekarang masih hangat sedang berlangsung, permohonan pengujian judicial review UU Pers No. 40 Tahun 1999 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pemohonnya lagi-lagi ya “itu-itu” saja. Yang membuat saya tidak habis pikir, pelakunya ngakunya “wartawan”.

Rekan-rekan jurnalis saya ingatkan, payung hukum jurnalis atau wartawan adalah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers “titik”. Jadi kalau merasa wartawan atau jurnalis semestinya menjaga dan menjunjung tinggi UU Pers. Bukannya malah “mengobok-obok”, seandainya pun ada kekurangan sekalipun.

Saya tidak habis pikir ada orang mengaku wartawan, mengobok-obok secara terbuka UU Pers sebagai payung hukumnya dan Dewan Pers yang melindungi kemerdekaan pers yang seharusnya kita jaga marwahnya. Kalau yang melakukan bukan Wartawan, saya mahfum.

Hanya ada Dewan Pers. Tidak Mungkin ada Dewan Pers “diembel-embeli cap ……..”.

Dewan Pers yang dimaksudkan dalam UU Pers pasal 15 adalah Dewan Pers yang sekarang ini kita kenal, yang Sekretariatnya di Gedung Dewan Pers Lantai 7 dan 8 Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta, yang jumlahnya 9 orang dan disahkan atau ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI, yang saat ini diketuai M. Nuh “titik”.

Jangan “ngacau” ada Dewan Pers “diembel-embeli cap ……”. Jurnalis hanya mengakui Dewan Pers. Kalaulah ada yang menggunakan nama menyerupai Dewan Pers, pasti bukan yang dimaksudkan dalam UU Pers pasal 15 alias “DP-Dpan atau Dewan Pers-Dewan Persan”. Baik yang menggunakan tambahan “embel-embel” Indonesia atau Independen atau Reformasi dan lainnya.

Menurut saya hal demikian menyesatkan,  bahkan merusak marwah Pers Indonesia.

Harus dipahami, Dewan Pers sekarang ini benar-benar ‘Dewan Pers kita’. Dewan Persnya wartawan atau jurnalis yang menjadi pelindung kemerdekaan pers. Bukan Dewan Pers era Orde Baru yang menjadi penasehat pemerintah.

Terbentuk Dewan Pers

Tanggal 23 September 1999, UU Pers disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Atas dasar itu, dibentuk Dewan Pers periode pertama 2000-2003.

Harus diingat!!  Setelah UU Pers disahkan, kita para insan pers yang meminta Pemerintah tidak mencampuri lagi atau mengatur pers dalam bentuk apapun termasuk menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah).

Sebagai ganti Peraturan Pemerintah, Dewan Pers lah yang mengatur regulasi selanjutnya. Itulah sebabnya UU Pers tidak ada Peraturan Pemerintah (PP)-nya.

Lahirnya KEJ

Era reformasi tahun 1998 dimungkinkan membentuk wadah pers atau wartawan selain organisasi wartawan satu-satunya saat itu, PWI. Beberapa wartawan dikomandani almarhum Bung Darwin Hulalata menggodok pendirian (Persatuan Jurnalis Indonesia) PJI. Pada 20 Agustus 1998, Bung Darwin dan kawan-kawan mendatangi Notaris membuatkan Badan Hukum PJI sebagai Organisasi Jurnalis.

Demi menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat, dibutuhkan suatu landasan moral etika profesi sebagai pedoman operasional untuk menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.

Maka pada 6 Agustus 1999 di Bandung 26 organisasi wartawan termasuk PJI menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) (pada perhelatan 5-7 Agustus).

Di kemudian hari untuk mensinkronkan dengan UU Pers pasal 15 ayat 2 huruf b, yang pada intinya menyebutkan Dewan Pers melaksanakan fungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan “Kode Etik Jurnalistik”, maka pada 14 Maret 2006 ditandatangani “Kode Etik Jurnalistik (KEJ)” oleh 29 organisasi sebagai pengganti KEWI.

Kita yang minta Dewan Pers mengatur pers. Alhasil UU Pers tanpa PP. Di tanggal 23 September 1999, UU Pers disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Atas dasar itu, dibentuk Dewan Pers periode pertama 2000-2003.

Harus diingat!! Setelah UU Pers disahkan, kita para insan Pers yang meminta Pemerintah tidak mencampuri lagi atau mengatur Pers dalam bentuk apapun termasuk menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah). Sebagai ganti Peraturan Pemerintah, Dewan Pers lah yang mengatur regulasi selanjutnya. Itulah sebabnya UU Pers tidak ada Peraturan Pemerintah (PP)-nya.

Dewan Pers tetap memperhatikan organisasi wartawan belum konstituen. PJI sampai saat ini belum konstituen Dewan Pers karena ada sedikit kekurangan persyaratan yang harus dipenuhi, belum cukup perwakilan provinsi yang dipersyaratkan Dewan Pers. Namun nyatanya PJI tetap mendapat perhatian cukup dari Dewan Pers. Dewan Pers hadir dalam berbagai giat PJI.

Atas petunjuk Dewan Pers pula PJI telah melaksanakan 6 kali Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bekerjasama dengan Lembaga Uji yang telah terverifikasi Dewan Pers. Dan bulan depan, 10-12 Desember 2021 PJI akan melaksanakan UKW ke 7 bersama Lembaga UKW UMJ.

Setahu saya, Dewan Pers membela pers atau jurnalis yang menjalankan tugas secara proporsional profesional sesuai amanat UU Pers dan patuh KEJ.

Tak terbayangkan carut-marutnya dunia pers Indonesia bila pers memperlakukan dirinya bebas merdeka tanpa ada Peraturan Dewan Pers. Dan perlu dipahami, Dewan Pers bagian dari pers. Bukan di luar pers. Bukan kaki-tangan pemerintah.

Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)

Artikel Terkait

Berita Populer

komentar terbaru