progresifjaya.id, JAKARTA — Upaya Tim penasehat hukum dalam membela kepentingan kliennya terlihat tidak kompromi, usai tuntutan hukum pidana penjara dibacakan penuntut umum (PU), dimana ibu dari korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga bersujud dan berguling – guling, teriak – teriak diruang sidang terkesan menganggu persidangan yang akan dilanjutkan pembacaan pembelaan (pledoi)
Hal itu terlihat ketika Dawin S Gaza, SH selaku PU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara usai mengajukan tuntutan untuk atas nama terdakwa Edrick Tanaka alias Erik didepan majelis hakim pimpinan Dr. I Gede Rumega, SH.,MH, didampingi Iwan Irawan, SH dan Sontang Merauke Sinaga, SH.,MH di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (9/7-2024).
Selain dinyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah menurut hukum melakukan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagaimana yang diatur dalam dakwaan kedua pasal 44 ayat (1) UU Nomor ; 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan dminta dihukum selama 2 tahun penjara, juga dia harus membayar restitusi ganti rugi sebesar Rp 50 iuta lebih
“Selaku penasehat hukum kami tetap mengajukan upaya hukum dalam membela kepentingan hak klien kami dan tidak akan terpengaruh atas teriakan histeris ibu dari korban yang melakukan aksi berguling – guling dan teriak – teriak seolah – olah berniat menarik simpatik majelis hakim dan pengunjung sidang,” kata Michael Remizaldy Yacobus, SH.,MH didampingi Sihar Natanael Nababan, SH dari Kantor Hukum “MRJ Law Office” selaku Tim penasehat hukum terdakwa Edrick Tanaka alias Erik dalam keterangannya ketika ditemui sejumlah wartawan.
Michael Remizaldy menambahkan, pada prinsipnya sependapat dengan upaya PU ajukan tuntutan hukum setelah mendengar beberapa orang saksi, namun atas lamanya hukuman tidak setuju.
Pasalnya, kata dia, dalam perkara ini ada kejanggalan yang tidak bisa diterima akal, dimana ada upaya oknum – oknum Polisi/Penyidik merekayasa untuk melakukan upaya pemberatan pidana.
“Gimana ada perkara seperti yang dialami oleh klien kami mempunyai dua Visum et revertum dari RS yang berbeda dan dua duanya pun diajukan sebagai alat bukti, hal ini jelas ada dugaan atau niat terselubung dari oknum – oknum berkepentingan, karena Visum et revertum itu jelas jelas tidak sesuai dengan prosedur yang sebenarnya,” tegasnya.
Sebagaimana dalam surat pembelaannya Tim penasehat hukum disebutkan, perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan kepadanya dia akui, akan tetapi fakta tersebut belum tentu dapat dibuktikan yang mengakibatkan atau belum memenuhi unsur jatuh sakit atau luka berat terhadap korban.
Masih menurut pembelaannya dikatakan,
Ahli Kedoktera dr. Samiadji Abbas RAS dan ahli dr. Regina Angeline menyebut, bahwa tahapan-tahapan penerbitan visum et repertum sesuai prosedur adalah, pasien/korban datang ke rumah sakit dengan membawa permintaan VER dari penyidik, setelah dilakukan pemeriksaan (anamnesa) terhadap pasien/korban oleh dokter, barulah diterbitkan visum et revertum sesuai dengan kondisi yang diperiksa.
Selain itu, dalam surat pembelaannya disebut pula, ahli pidana yang diajukan PU yakni, DR. Aprima Suar, menerangkan kalau penerbitan VER harus diawali oleh permintaan penyidik, apabila tidak melewati proses tersebut, maka VER adalah tidak sah dan senada dengan ahli hukum pidana yang dihadirkan penasehat hukum, juga menegaskan
tentang diperlukannya permintaan atau inisiatip penyidik dan jika tidak melewati mekanisme tersebut, maka VER adalah tidak sah.
“Dalam satu perkara pidana bisa saja ada dua Visum, namun kedudukannya harus berkaitan. Misalnya ada visum awal, selanjutnya dari dokter memberikan rujukan lebih lanjut untuk memeriksa kondisi pasien karena terdapat luka yang membutuhkan pemeriksaan dari dokter ahli dan apabila kedua visum tersebut bertolak belakang, namun diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan, maka yang dipakai adalah visum yang lahir dari mekanisme atau prosedur yang sebenarnya,” terang ahli
kala itu.
Karena itu, dalam surat pembelaannya dikatakan, akibat perbuatan terdakwa berupa kekerasan fisik,
sudah pasti harus didasari oleh bukti visum yang harus memenuhi syarat formil sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAPidana, jika tidak, maka VeR dimaksud layak dikesampingkan sebagai alat bukti oleh majelis hakim.
Masih menurut surat pembelaannya dikatakan, korban luka akibat perbuatan terdakwa terkait visumnya telah diterima penyidik dari RSUD Tanjung Priok tertanggal 4 November 2023 sudah dilakukan sesuai prosedur Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAPidana.
Karena itu, ditegaskan dalam pembelaannya, hasil visum kedua yang diterbitkan RS Budha Tzu Chi adalah visum yang berdiri sendiri, bahkan saling bertolak belakang dengan hasil visum yang diterbitkan RSUD Tanjung Priok dan hasil visum tersebut adalah inisiatip sendiri oleh korban.
“Alat bukti terkait adanya indikasi luka berat yang hanya didasari oleh Visum Et Repertum yang tidak memenuhi syarat formal berdasarkan KUHAPidana yang diterbitkan oleh RS Budha Tzu Chi atas permintaan tanggal 24 November 2023 adalah alat bukti yang tidak sah dan patut untuk dikesampingkan,” tegas Tim penasehat hukum dalam pembelaannya.
Sebagaimana dalam bukti yang diajukan dari hasil visum RS. Budha Tzu Chi disebut, telah menyebabkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan/jabatan untuk sementara waktu (visum kedua) jelas tidak memenuhi syarat formal berdasarkan KUHAP dan sangat bertolak belakang dengan hasil visum RSUD Tanjung Priok yang sesuai dengan prosedur yang sebenarnya.
“Kami selaku Tim penasehat hukum terdakwa Edrick Tanaka alias Erik sangat berharap kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, agar dalam amar putusan nantinya menjatuhkan hukuman
lebih rendah dari tuntutan,” ujar Michael Remizaldy Yacobus didampingi Sihar Natanael Nababan. (ARI)