Oleh: Joko Triyatno, S.Pd., SH., M.Pd.
Aparatur Sipil Negara patut mengapresiasi dengan disahkannya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Nomor 20/2023 yang dengan jelas dan tegas memberikan pernyataan bahwa manajemen ASN akan mengacu pada prinsip meritokrasi.
Meskipun bukan produk baru, sistem manajemen ini diyakini akan mampu menjawab tantangan zaman sebagaimana terdapat dalam empat poin pertimbangan sebagai dasar diberlakukannya UU ASN ini.
Sebagai payung hukum regulasi ASN tentunya undang-undang ini membawahi semua kategori ASN baik PNS maupun PPPK, berlaku bagi ASN Pusat maupun daerah, dan mencakup jabatan struktural maupun fungsional.
Pemerintah tinggal mengatur hal yang lebih teknis sebagai regulasi pelaksana dalam aturan di bawahnya untuk menyangga pemenuhan janji Negara tersebut.
Meskipun dalam beberapa regulasi pelaksana terkait Sistem Merit sebagaimana dimaksud dalam UU ASN ini sudah terbit terlebih dahulu, hal itu sah saja sepanjang tidak bertentangan dengan aturan induk UU ASN yang mulai berlaku sejak diundangkannya 31 Oktober 2023.
Dalam dunia pendidikan, khususnya berdampak bagi guru, muncul beberapa pertanyaan besar yang menarik untuk dicermati; Apa dampak UU ASN ini bagi guru? Apakah Sistem Merit berlaku bagi Guru? Bagaimana Sistem Merit yang ideal bagi jabatan fungsional guru? Mengapa penting diberlakukan Sistem Merit bagi jabatan fungsional guru? Dan banyak pertanyaan lainnya.
1 Meritokrasi
Secara filologis, meritokrasi (merit, dari bahasa Latin yang bermakna ‘kekuatan, kekuasaan’) adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, kekerabatan, atau kelas sosial yang ada di tengah masyarakat.
Hal ini berarti bahwa kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja yang dinilai secara terukur melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan secara kuantitatif maupun kualitatif.
Keberadaan konsep meritokrasi ini sebenarnya sudah ada sejaka zaman Plato. Namun dalam perspektif modern Michael Young (1958) menggunakan terminologi ini sebagai antithesis sistem patron-the winner takes all (pemenang mengambil segalanya, dalam konteks perang)-yang memudar karena semakin berkembangnya ajaran hak asasi manusia (HAM), Tata Negara, ajaran birokrasi modern, dan berkembangnya ilmu pasti maupun sosial lainnya.
Dalam konsep modern tentang birokrasi, Martin Albrow (1996) menyebutkan salah satunya birokrasi adalah sebagai organisasi rasional yang bermakna menjaga stabilitas, menyaratkan efiesiensi dalam administrasi, maupun mengacu keputusan-keputusan masuk akal dalam penerapannya.
Dengan demikian hubungan konsep birokrasi modern dan manajemen dengan sistem merit ini bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Birokrasi yang sehat adalah pohon induk bertumbuhnya manajemen Sistem Merit. Sebaliknya sistem ini memberi umpan balik dari praktik baik para birokratnya untuk selalu naik peringkat dengan penyelenggaraan yang penuh konsistensi terhadap prinsip-prinsip Sistem Merit yang berlaku universal.
Prinsip-prinsip tersebut yaitu; perencanaan tenaga kerja berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja, tujuan perekrutan adalah mencari talenta terbaik, pengembangan kapasitas dan kemampuan tenaga kerja, penilaian kerja berkelanjutan, promosi yang dinamis, apresiasi layak melalui sistem pensiun dan sistem kompensasi.
Mengerucut ke konteks bernegara kita, Sistem Merit merupakan salah satu hasil dari agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan Presiden untuk membangun birokrasi netral sebagai perwujudan sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manajemen birokrasi dengan sistem ini diharapkan mampu memberikan pelayanan publik yang elegan dan berkelas serta terbebas dari korupsi-kolusi-nepotisme.
2 Menakar Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Secara akumulatif, tugas guru meliputi tugas pokok dan tugas tambahan. Hal ini dapat dilihat dari definisi guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (Pasal 1 ayat 1) yang menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Definisi tersebut barulah menggambarkan ketugasan pokok seorang guru karena untuk dapat melaksanakan ketugasan tersebut seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam pasal 8.
Syarat ‘kompetensi’ yang harus dimiliki oleh seorang guru ini mengandung tugas tambahan guru yang tidak ringan. Peraturan Pemeritah RI No. 74/2008 Tentang Guru, pasal 3 ayat (4) menyebutkan tugas tambahan guru dalam penguasaan kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi huruf (a) sampai huruf (g), dan huruf (h): pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Pada tugas tambahan dalam huruf (h) inilah yang sering membuat tugas guru semakin berat karena harus mendampingi murid untuk aktualisasi akademik yang lebih mendalam maupun aktualisasi minat-bakat yang tercakup dalam ekstrakurikuler, ataupun minat-bakat lainnya yang bersifat insidental yang tercakup dalam berbagai perlombaan.
Tidak cukup di situ, ketugasan guru dalam kelompok tugas tambahan ini semakin bertambah dengan adanya integrasi ‘kurikulum titipan’ di sekolah. Sebut saja: pendidikan karakter khas daerah, pendidikan berbasis keterampilan, pendidikan anti korupsi, pendidikan ramah anak, pendidikan berwawasan adiwiyata, dan masih banyak varian kegiatan lainnya yang tidak terkait dengan ketugasan pokok.
Namun ketugasan tambahan ini datang bagai air bah tanpa toleransi yang hanya menuju bak penampungan kecil bernama sekolah dan harus dilaksanakan oleh pendidik yang disebut ‘profesi guru’.
1.1. Posisi Rentan Guru
Terdapat dua klasifikasi besar posisi rentan guru yaitu dari faktor internal dan eksternal.
Pertama, dari faktor internal yaitu posisi rentan dari dalam diri seorang guru yang berada pada zona nyaman karena sudah berstatus ASN maupun pegawai tetap yayasan sehingga abai pada pengembangan diri, pengembangan empat kompetensi guru yang diamanatkan oleh peraturan perundangan.
Seorang guru yang tergolong pada posisi rentan internal ini biasanya kurang cakap teknologi, acuh pada ketugasan, lebih mementingkan urusan pribadi, kurang bisa kerja kolaborasi, hingga kurangnya rasa tanggung jawab profesi.
Meskipun dalam jumlah kecil, namun posisi rentan internal ini cukup mengusik predikat profesionalisme yang sudah berjalan hampir 20 tahun di bawah UU Guru dan Dosen dengan berbagai tahapannya.
Kedua, posisi rentan guru dari faktor eksternal sebagaimana tersirat dalam hak perlindungan hukum bagi guru yang terdapat dalam pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 74/2008 Tentang Guru.
Pasal ini secara lugas menyebutkan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Dengan demikian posisi rentan guru sudah teridentifikasi dengan cermat dan rinci yang pelakunya dapat berasal dari pihak peserta didik, masyarakat umum, maupun birokrasi pemerintahan itu sendiri.
Identifikasi dini terhadap posisi rentan guru ini patut ditengarai hadir bersamaan dengan dimasukkannya kovensi hak anak dalam undang-undang perlindungan anak. Kovensi tersebut memberi penentrasi dalam dunia pendidikan yang sedikit-banyak berpengaruh pada perilaku anak.
Tidak sedikit dari mereka meremehkan guru, dan melakukan berbagai kuda-kuda dengan dalih perlindungan hak anak. Paradoks HAM ini bertambah rumit ketika orang tua turut mempersalahkan pihak sekolah dan guru tanpa memahami duduk perkaranya.
Sebut saja kasus orang tua ketapel guru di Rejang Lebong, Lubuk Linggau, yang berakibat buta permanen; kasus murid bacok guru di Demak yang berakibat luka parah bagi guru; guru ditutut 50 juta rupiah di Taliwang Sumbawa Barat; dan banyak isu kekerasan di sekolah lainnya, merupakan antithesis dari beratnya tugas guru dalam iklim pendidikan dewasa ini.
Untuk kasus 1 dan 2 yang terkait pidana dapat terbaca jelas bahwa pelaku pidana (orang tua maupun peserta didik) apapun alasannya tentu mendapatkan konsekuensi hukum yang lebih berat daripada yang dilakukan oleh sang guru dalam mendidik muridnya.
Sedangkan kasus 3 masih memerlukan tahapan pembuktian yang panjang. Yang dilakukan sang guru dengan menakut-nakuti menggunakan sebilah bambu kepada muridnya masih masuk kategori mendidik (pasal 39 PP 74/2028, Permendikbudristek No. 46/3023), terkait maksud sang guru (mens rea) yang mendasari perbuatannya, dan hasil visum yang memberatkan sang guru masih harus dicocokkan dengan keterangan saksi dan alat bukti lainnya.
Isu kekerasan (kasus 4), baik fisik maupun verbal, di sekolah memang harus ditangani secara tepat dan tuntas. Namun dalam kaitannya dengan posisi rentan guru, tak jarang isu ini sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu untuk memancing di air keruh.
Semangat mempersalahkan guru diekspos dengan simulasi jurnalistik abal-abal kombinasi LSM bigot untuk memproduksi hipersemiotika yang menghasilkan buih dari buih, tiruan dari tiruan, yang merupakan realitas dunia tingkat ketiga, sehingga mendistorsi fakta hukum pada permasalahan utama yang sebenarnya tidak ada (minus malum).
Pada kondisi ini nama murid menjadi tenar (negatif) dan guru maupun pihak sekolah tidak ingin wasting time dalam hiruk-pikuk media. mereka cenderung diam dan bertahan sambil menunggu pudarnya citra simulasi media untuk mengungkap makna dalam fakta hukum.
Kondisi dalam kasus 4 ini cukup melelahkan dan membuat keder kaum pendidik yang kurang literasi hukumnya.
Tak jarang mereka lebih memilih diam, mengalah, untuk menghindari ribut yang tidak perlu walau akhirnya terkesan permisif pada kasus yang berhembus. Ironisnya, organisasi profesi yang seharusnya responsif terhadap isu tidak memberi advokasi semestinya namun justru pihak pertama menabuh gong kemenangan.
1.2. Ujian Profesionalitas Guru
Posisi rentan guru dari faktor eksternal berupa perlakuan tidak adil dari birokrasi merupakan dinamika tersendiri yang memprihatinkan. Sebut saja besaran fantastis Tunjangan Kinerja di lingkup Kementerian Keuangan, maupun prestise Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi ASN daerah yang tidak adil bagi guru cukup menurunkan kinerja para guru dan menjadi ujian profesionalitas guru.
Bagaimana tidak, tunjangan profesional bagi guru diperoleh dengan syarat dan ketentuan berlaku yang berat, sedangkan Tukin dan TPP tanpa syarat.
Guru memperoleh TPG melalui mekanisme transfer daerah yang dicairkan pada bulan ke-5 dan 6 dalam semester, sedangkan Tukin dan TPP cair setiap bulan. Besaran TPG hanya satu kali gaji pokok sedangkan Tukin dan TPP dengan besaran fantastis.
Pemberian TPP 2023 Pemda DIY berbasis eselon tetap bergeming meski sebelumnya banyak aksi untuk mempengaruhinya hingga dilaporkan kepada Lembaga Ombudsman Daerah.
Singkatnya, besaran TPP di daerah istimewa ini, KTU sekolah (eselon IVa, golongan IIIc) sebesar 6,5 juta dan staf TU (ijasah SLTA, golongan IIa-d) sebesar 4 juta tanpa pajak. Pada eselon yang sama tapi di lingkup Balai Dikmen diberikan TPP 9 juta dan stafnya 7 juta.
Di atasnya, Kepala Balai Dikmen (cabang kabupaten) yaitu eselon IIIb (golongan IVb) mendapat TPP 12 juta dan stafnya 10 juta. Dari deret angka tersebut tentu dapat diprediksi besaran TPP Wakil Kepala Dinas, Kepala Dinas, maupun jabatan Sekda.
Perlu diketahui gaji pokok guru golongan IIIa masa kerja 5 tahun rata-rata 2,6 juta; golongan IIIb (10 tahun) 3 juta; golongan IIIc (15 tahun) 3,4 juta; golongan IIId (20 tahun) 3,9 juta; golongan IVa (25 tahun) 4,2 juta; golongan IVb (30 tahun) 4,75 juta; dan golongan IVc memiliki rata-rata gaji pokok sebesar 5 juta saja.
Menyikapi posisi rentan guru dari berbagai sisi ini cukup membuat galau para guru.
Bagai tokoh Abimanyu dalam epos Mahabrata, guru “dihadapkan” dengan peserta didik dan orang tua, masyarakat dan birokrasi, media, perubahan kurikulum, juga dengan kompetensi profesional yang dipersyaratkan.
Banyak guru menjadi ciut mental untuk sekadar memberikan teguran kepada murid dan dalam hal tertentu lebih memilih acuh daripada berhadapan dengan hukum maupun terpaan gelombang soliton pemberitaan media yang bersifat simulatif, permanen, dan dimana-mana (omnipresent).
Sedangkan dalam hal menyikapi ketidakadilan birokrasi patut dipertanyakan mengapa ketidakadilan masih terjadi di era modern ini? Seberapa penting pendidikan di negeri ini? Seberapa penting para gurunya? Mengapa TPP kecil bagi guru dan TPG sulit mendapatkannya? Mengapa tuntutan standar tinggi bagi profesi guru? Dan banyak pertanyaan lainnya.
3 Penghargaan Yang Ideal bagi Jabatan Fungsional Guru
Mengulik penghargaan yang ideal bagi guru adalah hal sinonim dengan mempertanyakan Sistem Merit bagi guru sesuai dengan UU No. 20/2023 Tentang ASN. Namun sebelum sampai pembahasan yang spesifik tersebut perlu dipahami definisi jabatan fungsional sebagai jenis jabatan yang melekat pada guru.
Peraturan Menteri PAN-RB No.1/2023 Tentang Jabatan Fungsional pada pasal 1 ayat (9) menyebutkan jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Frase penting dalam definisi ini adalah ‘fungsi dan tugas’, ‘pelayanan fungsional’, dan ‘keahlian dan keterampilan tertentu’.
Dengan melihat frase penting dari definisi jabatan fungsional tersebut maka pegawai dengan kategori jabatan ini diharapkan akan mampu memberikan pelayanan terbaik sesuai keahlian dan keterampilannya.
Hal ini mengingatkan kita pada konsep ilmuwan organik yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1987), yaitu sebagai ilmuwan yang hidup dan mengabdi di tengah masyarakat, yang mudah dibedakan dari profesi mereka karena karakter pekerjaannya, memberikan totalitasnya untuk tercerabut dari hegemoni birokrasi yang mengekang dan kaku.
Ilmuwan organik bagai ujung jarum yang tajam yang mampu menjangkau kedalaman, tumbuh berkembang dan menghasilkan buahnya demi masyarakat luas dan negara.
Dengan demikian, ilmuwan organik ini dapat memberikan pelayanan pada level tertinggi kebutuhan masyarakat. Dalam konsep filosofis Gramscian ini, guru merupakan ilmuwan organik yang dimaksud.
Kegiatan guru yang senada konsep ilmuwan organik, dapat disebut sebagai tiga dedikasi istimewa, yaitu; (1) guru menghasilkan karya ilmiah (menulis buku ajar maupun buku umum, membuat penelitian pendidikan dan menuliskannya dalam laporan ilmiah, menulis artikel ilmiah popular di media massa cetak maupun online, memiliki dan mengelola blog pendidikan/ YouTube, dan banyak lainnya); (2) guru meraih kejuaraan (linear dengan keilmuannya) dalam ajang kompetisi tingkat kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional; (3) guru membimbing murid dalam meraih kejuaraan akademik dan non-akademik tingkat kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional.
Penghargaan negara terhadap guru sebenarnya sudah tertera dalam banyak regulasi yang memayunginya, sebut saja pasal 30 sampai pasal 33 PP 74/2008 Tentang Guru. Namun sayang, janji Negara dalam pasal tersebut masih dirasa janji manis belaka.
Hingga kini semua penghargaan yang disebutkan dalam pasal tersebut masih bersifat normatif karena tidak ada aturan teknis terkait pelaksanaan pasal 30 (2) terkait dedikasi luar biasa seorang guru sehingga berdampak pada finansial pembeda. Semua telah tercakup dalam TPG yang diterima guru, demikian penjelasan klisenya. Ironisnya, regulasi dana BOS melarang peruntukannya untuk bayar honorarium guru dalam hal membimbing murid/ ekstrakurikuler.
Parahnya lagi Kepala Dinas Pendidikan ikut-ikutan latah melarang hal senada yang sumber dananya dari komite sekolah.
Hadirnya UU ASN terbaru cukup memberi angin segar bagi penerapan Sistem Merit kepegawaian bagi jabatan fungsional guru.
Bab VI terkait hak ASN khususnya pasal 21 ayat (1) menyebutkan pegawai ASN berhak memperoleh penghargaan dan pengakuan berupa materiel dan/atau nonmaterial. Ayat ini memiliki tujuh komponen (ayat 2), dan komponen yang menarik dibahas adalah komponen huruf (b) yaitu komponen yang bersifat motivasi.
Komponen ini selanjutnya diperjelas dalam ayat (4) Penghargaan yang bersifat motivasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa: (a). finansial; dan/atau (b). nonfinansial.
Dedikasi istimewa guru ini selayaknya mendapat penghargaan tersendiri agar menjadi perangsang guru untuk berkarya dan sekaligus menguatkan ciri khas jabatan fungsional yang melekat padanya.
Contoh penerapan Sistem Merit dengan memberikan pembeda finansial dilakukan oleh pemerintah China. Konon di negeri tirai bambu itu guru yang pernah meraih kejuaraan daerah bergaji setara 30 juta rupiah, dan peraih kejuaran nasional bergaji setara 45 juta rupiah.
Hal yang sama juga berlaku di Singapura dan banyak Negara maju lainnya. Myanmar mampu memberi bonus satu kali gaji, sedangkan di negeri kita masih sebatas negosiasi anggaran dan hal administratif lainnya.
Dalam konteks Indonesia pasca berlakunya Permendikbudristek No. 40/2021, guru-guru yang lulus program dan memiliki sertifikat Guru Penggerak adalah golongan yang layak mendapat penghargaan finansial tersebut karena muatan materi program ini selevel jenjang magister bahkan doktoral dengan jumlah 310 jam pelajaran yang ditempuh enam bulan.
Penghargaan terhadap dedikasi istimewa guru berupa penghargaan nonfinansial dapat diberikan berupa kenaikan pangkat melalui jalur kenaikan pangkat istimewa sebagaimana tertuang dalam pasal 40 PermenPAN-RB No. 1/2023.
Pasal ini menyebutkan bahwa pejabat fungsional (termasuk guru) yang memiliki penilaian kinerja dan keahlian yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya dapat diberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat istimewa.
Dengan membaca intensif arah hukum kepegawaian, reformasi birokrasi dengan manajemen Sistem Merit, mencermati pasal-pasal terkait jabatan fungsional, mencermati pasal-pasal tentang penghargaan bagi guru, adalah upaya membesarkan hati para pendidik negeri ini di tengah ketidakadilan penghasilan sesama pegawai.
Jika dimaknai sebagai janji Negara, maka diharapkan janji-janji tersebut akan ditepati. Prinsip Sistem Merit dengan tujuan perekrutan adalah mencari talenta terbaik medapat apresiasi sepadan melalui fasilitas penghargaan yang diberikan yang akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan nasional.
4 Rekomendasi
Dengan memperhatikan rasionalisasi yang telah penulis kemukakan, maka dapat disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
4.1. Agar Negara segera membuat kebijakan terkait penggajian yang adil bagi seluruh ASN. Besaran tunjangan kinerja di lingkup kementerian keuangan dan penerapan TPP yang tidak adil bagi guru tentu menurunkan etos kerja guru. Jika arah kebijakan itu mengarah pada gaji tunggal (single salary) maka berikan keadilan bagi guru dengan masih mencirikan penghargaan pada profesionalitas sebangaimana dimaksud dalam UU Guru dan Dosen.
4.2. Agar Negara berbesar hati menurunkan besaran pajak penghasilan pegawai golongan IV dari yang sudah berlaku sebesar 15% menjadi 10% atau kurang. Pajak tinggi bagi golongan IV dirasa berlebihan karena pendapatan Negara dari sektor pajak dapat dioptimalkan dari selain PPh pegawai. Pajak tinggi juga mengaburkan penghargaan finansial itu sendiri, dan dapat memicu perilaku menyimpang lainnya. Terlebih efek domino dari penerapan PPh ini terjadi pada semua pendapatan di luar gaji bulanan yang masih terkait profesi.
4.3. Agar Negara mebuat regulasi yang bersifat teknis penghargaan Negara pada aspek dedikasi istimewa guru. Regulasi ini tentunya terkait dengan penghargaan finansial maupun nonfinansil. Bentuk dan model penghargaan finansial dapat dibandingkan dengan Sistem Merit kepegawaian yang telah diterapkan oleh negara-negara di dunia. Namun inti dari penerapan penghargaan ini adalah pembeda finansial bagi guru-guru dengan dedikasi istimewa.
Penghargaan nonfinansial tidak hanya bersifat administratif-seremonial (berupa Surat Keputusan Penghargaan, sertifikat, piagam, lencana), namun menjangkau pada regulasi naik pangkat istimewa karena mengacu pada dedikasi istimewa yang dilakukan guru.
4.4. Agar Negara menyederhanakan regulasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan memperhatikan keterjangkauan akses di luar Jawa demi terlaksanakan program wajib belajar dengan sebaik-baiknya. Regulasi BOS juga diharapkan dapat menjangkau pada kebutuhan ‘ilmuwan organik’ yang bekerja bersentuhan langsung dengan masyarakat dan memberikan pelayanan pendidikan hingga level tertinggi kebutuhan masyarakat.
4.5. Reformasi kepengurusan organisasi PGRI agar menjadi organisasi terbuka dalam suksesi kepengurusan, dan membentuk dewan kehormatan guru yang menegakkan kode etik. Keberadaan dewan kehormatan ini terbentuk hingga tingkat kabupaten/ kota demi memberikan pelayanan yang optimal. Reformasi pengurus harian PGRI ini begitu penting karena banyaknya jabatan strategis yang dipegang bukan guru padahal PP 74/2008 jo. PP 19/2017 tentang guru, pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Dengan dijabatnya pengurus harian oleh guru maka memberi posisi tegas antara guru (organisasi profesi) dan instansi pembina (Dinas Pendidikan). Dengan demikian tidak terjadi dualisme jabatan yang dapat mengaburkan tugas dan fungsi masing-masing dan aspirasi murni dari guru dapat tersalurkan dalam kebijakan strategis yang berdampak bagi guru.
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Galur, Kulon Progo, D.I. Yogyakarta, Ketua Forum Komunikasi Guru PNS pada Pendidikan Menengah dan Khusus DIY dalam Kritisi Penerapan TPP di Lingkup Pemda DIY