Oleh : Drs.Firdaus Turmuzi, M.hum
Kata Integritas, terutama dalam konteks kepemiluan,hampir semua ditujukan untuk penyelenggara pemilu. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, maka terwujudnya Pemilu Berintegritas tidak hanya tanggungjawab penyelenggara pemilu.
Mari kita coba bahas lebih detail tentang Integritas Pemilu disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga istilah-istilah yang kita ambil dari beberapa sumber yang berkaitan.
Integritas dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, disebutkan pula kejujuran.
Menurut Andreas Harefa, penulis 40 buku best seller, yang dimaksud dengan integritas adalah 3 hal yang selalu dapat kita amati, yaitu memenuhi komitmen, menunjukkan kejujuran, dan mengerjakan sesuatu dengan penuh konsisten.
Jika membaca definisi tentang integritas diatas dan kita tarik ke ranah kepemiluan, maka dapat kita simpulkan secara sederhana, bahwa Pemilu Berintegritas adalah Pemilu yang terselenggara dengan jujur, komitmen dan konsisten.
Pertanyaannya, jika penyelenggara pemilu sudah berintegritas, apakah juga otomatis menghasilkan pemilu yang berintegritas?
Bagaimana dengan praktik politik uang (money politic) yang masih saja terjadi sampai saat ini misalnya? Dimana praktik ini sulit pembuktiannya dan semakin pintarnya pelaku sehingga sangat sulit terjadi tangkap tangan.
Money politic hanyalah salah satu contoh persoalan yang sampai saat ini belum bisa hilang dan menjadikan salah satu sebab Pemilu tidak berintegritas.
Jadi tidak hanya penyelenggara pemilu, tetapi seluruh pihak yang terlibat di dalam kepemiluan tersebut, baik itu penyelenggara, peserta, masyarakat pemilih dan semua pihak yang terkait haruslah berintegritas, sehingga akan terwujudlah yang dinamakan Pemilu Berintegritas.
Di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tidak mengatur dan disebutkan secara khusus tentang integritas, tetapi meninjau dari definisi-definisi diatas maka sebagai penyelenggara, peserta maupun pemilih harus mematuhi peraturan (regulasi) yang mengatur tentang pemilu. Baik itu undang-undang, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu maupun Peraturan DKPP.
Misalnya seperti yang tertuang dalam pasal 3, yang ditujukan untuk penyelenggara pemilu. Dimana dalam pasal ini penyelenggara pemilu, baik itu KPU, Bawaslu maupun DKPP harus memenuhi 11 unsur yang disebutkan. Jika 11 unsur tersebut dilaksanakan dengan baik dan komitmen, maka akan terwujud penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Sebagai contoh lagi, mulai pasal 169 yang mengatur tentang peserta pemilu. Jika peserta pemilu memenuhi apa-apa yang dituangkan pasal-pasal tersebut dengan baik dan benar, maka dapat dikatakan sebagai peserta pemilu yang berintegritas.
Selain pasal-pasal yang disebut diatas, juga terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai sanksi, dimana pasal-pasal tentang sanksi ini disusun sebagai salah satu upaya terwujudnya Pemilu Berintegritas. Sebagai contoh pada pasal 515 tentang politik uang (money politic).
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pemaparan diatas adalah, ketika penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih dan pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelenggaraan pemilu berkomitmen dan menjalankan regulasi kepemiluan dengan baik dan benar, maka apa yang dicita-citakan yaitu Pemilu Berintegritas baru bisa terwujud.(*)
(Penulis adalah kandidat DR Dakwah Universitas Islam Assyafiiyah, Dosen, Anggota FKDM DKI Jakarta,’ dan Sekjen Fahmi Tamami)