Tuesday, July 15, 2025
BerandaBerita UtamaMotif Cemburu dan Utang-piutang: Pembunuhan Tiga Mahasiswi Lulusan STIE di Padang Identik...

Motif Cemburu dan Utang-piutang: Pembunuhan Tiga Mahasiswi Lulusan STIE di Padang Identik dengan Femisida

progresifjaya.id, PADANG – Pembunuhan berantai tiga wanita lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) yang dilakukan oleh seorang Satpam pabrik di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) identik dengan femisida. Hal ini diungkapkan beberapa aktivis perempuan menanggapi sadisnya pembunuhan tersebut.

Femisida adalah pembunuhan yang dilakukan seorang laki-laki dengan motif gender dan korbannya perempuan. Pelakunya memandang kebencian terhadap wanita, sehingga rentan melakukan pembunuhan.

Menurut The Indonesian Legal Resourse Center (ILRC), femisida secara sederhana adalah pembunuhan yang disengaja dengan motif gender. Motivasi gender ini menjadi unsur utama yang membedakan dari pembunuhan biasa.

Seperti ditayangkan kemarin, aksi jagal itu dilakukan oleh Satria Juhanda alias Wanda (25) warga Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ketiga korban, semuanya perempuan dan merupakan orang dekat. Bahkan seorang korban Siska Oktavia (24) adalah kekasih pelaku yang dibunuh bersama temannya Adek Gustiana (23).

Kedua korban yang dibunuh pada Januari 2024 itu jasadnya dimasukan ke dalam sumur tua hingga terkubur di situ. Sedangkan Septia Ananda (23) dibunuh minggu lalu dan jasadnya dimutilasi menjadi 10 bagian. Potongan tubuh korban di buang ke aliran sungai Batang Anai.

Septia Adinda dibunuh dengan cara dibekap mulut dan hidungnya hingga wanita muda itu tidak dapat bernafas dan meregang nyawa. Septia diketahui juga pernah kuliah di STIE Padang.

Motif pelaku membunuh Septia Ananda diketahui karena cekcok soal utang sebesar Rp3,5 juta. Korban mempunyai hutang kepada Wanda dan saat ditagih belum bisa membayar sampai akhirnya berujung pembekapan hingga wanita muda itu tewas.

Sementara pada setahun lalu Siska Oktavia dibunuh karena pelaku Wanda cemburu. Begitu juga dengan Adek Gustiana ikut dibunuh karena mendukung kedekatan Siska dengan pria lain saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Atas hal itu dengan entengnya pelaku Wanda membunuh keduanya.

Kedua perempuan itu sebelumnya dilaporkan hilang sejak Januari 2024 dan baru ditemukan jasadnya atas pengakuan pelaku Wanda. Polisi lalu menggali sumur itu dan menemukan kedua jasad tersebut teronggok di dalamnya.

Kasus pembunuhan berantai ini disebut Pendiri Yayasan Nurani Perempuan, Yefrina Heriani, sebagai kasus femisida. “Karena memang ada pembunuhan dengan alasan kebencian, cemburu dan ada ideologi patriarki di dalamnya dan korbannya adalah perempuan,” kata Yefrina.

“Terutama yang menjadi pacarnya, lalu ada perempuan lain yang dibencinya karena menghubungkan pacarnya dengan lelaki lain,” tambahnya.

Femisida menjadi manifestasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang paling ekstrem dan brutal yang terjadi pada rangkaian bentuk-bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual atau ekonomi yang saling terkait satu sama lain.

“Kalau di Sumatera Barat ini cukup banyak kasusnya. Saya sangat ingat sebuah kasus femisida yang sangat sadis dilakukan pada sekitar tahun 2000-an. Korbannya seorang perempuan yang dibakar dan kejadian itu terjadi di daerah Agam,” tambah Yefrina.

Menurutnya, kasus femisida diawali dari pelecehan, kekerasan fisik, kekerasan seksual sebelum akhirnya korban dibunuh. Namun, sebelum terjadi pada femisida, korban diminta untuk berbicara lebih keras. “Kita berharap agar seluruh orang di Sumatera Barat speak up dan kita harus menyadari bahwa kekerasan berbasis gender itu bukan persoalan individu,” ujarnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, juga mengidentifikasi kasus mutilasi di Padang Pariaman sebagai kasus femisida. “Ada relasi kuasa di situ ya. Karena orang berutang kan tersangka kontrol,” katanya.

Menurutnya, femisida merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem. Biasanya hal ini diawali dengan pandangan misoginis laki-laki (membenci perempuan).

“Misalnya pertama dia senang, suka, tapi begitu pacarnya hamil, dia tidak mau mengurus. Kemudian terjadi kebencian. Jadi perempuan hanya dijadikan objek dalam hidup dia,” kata Chatarina.

Chatarina bilang, kasus femisida berbeda dari pembunuhan biasa, sehingga perlu ada pemberat sanksi bagi pelaku. Namun, sejauh ini, belum diatur rinci dalam kerangka hukum nasional.

“Harusnya pembunuhan karena femisida itu diperberat, kalau misalnya itu sudah diakomodir dalam regulasi, tapi ini mungkin tidak bisa dalam waktu singkat,” katanya.

Data Kasus Kekerasan Femisida

Komnas Perempuan mencatat 290 kasus femisida di Indonesia (Oktober 2023-Oktober 2024). Jumlahnya meningkat hampir 30% dari sebelumnya, yakni 159 kasus pada 2023.

Kasus ini belum termasuk pembunuhan kejam jurnalis Juwita yang dibunuh pacarnya oknum TNI AL di Kalimantan Selatan, Elis Agustina Yotha di Jayapura dibunuh suaminya yang anggota TNA AU, dan kasus suami menikam istrinya saat live karaoke di Sumatera Utara.

Data ini diambil dari 73.376 pemberitaan di media massa. Oleh karena itu, angka-angka ini sangat dipengaruhi laporan masyarakat, termasuk pihak media dalam memberitakan kasus femisida.

Editor: Isa Gautama

Artikel Terkait

Berita Populer