progresifjaya.id, JAKARTA – Masyarakat menengah ke bawah dibuat pusing bila anaknya diterima di sebuah perguruan tinggi negeri atau PTN untuk tahun ini. Penyebabnya, biaya uang kuliah tunggal (UKT) melonjak tinggi di sejumlah PTN
UKT merupakan biaya kuliah yang dibayarkan per semester. Sementara uang pangkal dibayarkan hanya satu kali di awal perkuliahan. Uang pangkal di sejumlah kampus memiliki nama berbeda-beda dan hanya dibebankan pada mahasiswa yang mendaftar jalur mandiri.
Di Universitas Indonesia (UI), misalnya, besaran UKT kelompok satu adalah Rp 500.000 dan UKT kelompok dua sebesar Rp 1.000.000 untuk semua program studi jenjang S1 dan vokasi.
Sedangkan UKT kelompok tiga bervariasi, mulai dari terendah yaitu Rp7.500.000 sampai Rp 15.000.000. Kemudian, UKT tertinggi pada kelompok lima mencapai Rp 20.000.000 per semester.
Ini hanya di UI, sejumlah PTN mengeluarkan kebijakan kenaikan biaya UKT yang berbeda-beda namun secara keseluruhan hampir sama.
Dengan biaya UKT kelompok tiga sebesar itu tentunya sangat berat. Apalagi bagi pekerja yang menerima upah di bawah UMR atau pekerja tidak tetap.
Masyarakat berpenghasilan rendah tentunya ingin anaknya mendapatkan pendidikan terbaik di perguruan tinggi negeri dengan biaya murah atau terjangkau.
Tapi melonjaknya biaya UKT pada tahun ini, membikin was-was para ortu yang berpenghasilan rendah. Orang tua membatin, apakah mampu membayar kuliah anaknya jika diterima di PTN ?
Pangkal Masalah
Pangkal masalah tingginya biaya UKT di sejumlah perguruan tinggi, menurut pakar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ‎Prof Cecep Darmawan‎, disebabkan terbatasnya anggaran dari pemerintah untuk sektor pendidikan.
“Jadi memang sekian banyak kampus menaikan UKT ini ya, nah ini problemnya dimana? Kelihatannya memang ini anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan di perguruan tinggi atau kampus ini kelihatannya terbatas, itu persoalannya,” ucap Cecep dikutip Minggu (19/5/2024).
Menurutnya, karena keterbatasan anggaran dari pemerintah tersebut, maka perguruan tinggi harus menutupi biaya operasional salah satunya dengan cara menaikan biaya UKT.
“Kemudian kampus harus menutupi biaya operasional, nah dari mana kampus? Mungkin kampus tertentu bisa melalui inovasi atau karya-karya yang bisa dijual, tapi yang lain sulit sehingga menaikan UKT sebagai solusinya,” ungkapnya.
Cecep yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara UPI ini mengaku, pihaknya tidak ingin menaikan biaya UKT. Bahkan, pihaknya bercita-cita agar biaya pendidikan dapat terjangkau oleh masyarakat luas.
“Sebenarnya kami dari perguruan tinggi juga tidak mau UKT itu naik ya, kami tuh inginnya semurah mungkin yang terjangkau oleh masyarakat tapi kan pemerintah sendiri ngasih uangnya sedikit jadi disitu masalahnya,” katanya.
Sebab menurutnya, salah satu faktor untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi adalah soal anggaran. Dimana anggaran tersebut didapat melalui pemerintah.
“Kalau bicara kualitas perguruan tinggi ini jadi PR kita bersama. Salah satu untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi antara lain ya soal dana, untuk riset, untuk pengabdian, untuk meningkatkan kapasitas dosen itu kan butuh dana, butuh anggaran,” jelasnya.
“Tapi kalau pemerintahnya kurang serius soal anggaran, ya mau tidak mau agak sulit perguruan tinggi kita untuk berkembang,” tambahnya.
Meski bukan menjadi satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi, Cecep menilai jika anggaran atau dana tersebut yang justru sangat menentukan.
“Walaupun saya katakan dana bukan satu-satunya faktor, banyak juga faktor lain. Tetapi dana juga sangat menentukan di antara faktor-faktor lain itu,” tegasnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan tingginya biaya UKT ini.
“Saya sih melihat ini seharusnya pemerintah cepat turun tangan untuk menyelesaikan ini dengan menambah anggaran untuk pendidikan perguruan tinggi,” tandasnya. (Hendy)