Monday, July 14, 2025
BerandaHukum & KriminalPasangan Selingkuh Banyak Tinggal di Apartemen: Asal Usul Kohabitasi Tidak Diusik, Identitas...

Pasangan Selingkuh Banyak Tinggal di Apartemen: Asal Usul Kohabitasi Tidak Diusik, Identitas Hanya Formalitas

progresifjaya.id, JAKARTA – Fenomena pasangan seperti suami istri yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan sudah sejak lama banyak terjadi di indonesia. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan ibukota provinsi di Tanah Air. Berdirinya apartemen atau rumah vertikal di kota-kota besar yang bisa disewa perbulan atau pertahun, menjadikan kohabitasi atau yang lebih populer dengan sebutan kumpul kebo, jadi semakin marak. Umumnya, mereka yang hidup bersama tanpa nikah itu merupakan pasangan selingkuh, meskipun banyak juga pasangan muda mudi bujangan hidup bersama di satu unit ruangan rumah susun itu.

Sebenarnya dalam hukum pidana Indonesia, kohabitasi menjadi fokus perhatian setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang tindakan pidana perzinaan dan hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan.

Untuk menghindari pidana itulah pasangan kohabitasi banyak memilih tinggal di apartemen. Pasalnya di situ mereka aman tidak diusik asal usul. Identitas, hanya formalitas saja. Para penghuni, juga cuek dengan kehidupan di lingkungannya. Istilahnya ‘lu elu, gue gue. Asal lu tidak usil, gue juga begitu’.

Biasanya pasangan selingkuh menyewa unit apart baik standar maupun mewah, tergantung dari status sosial yang disandangnya. Umumnya salah satu pasangan ini adalah pria yang duitnya berlebih, seperti pimpinan perusahaan, oknum pejabat negara atau daerah serta orang-orang mampu untuk hidup bersama dalam satu atap.

Namun tidak semua apartemen yang lingkungannya bebas. Identitas lengkap harus dimiliki oleh penghuni termasuk surat nikah. Kebanyakan apartemen ini dihuni pasangan muda yang hanya mempunyai satu atau dua anak saja.

Dalam laporan The Conversation disenutkan, fenomena hidup bersama tanpa nikah disebabkan adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.

Sebagai gantinya, mereka memandang ‘kumpul kebo’ sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, kohabitasi masih menjadi hal tabu. Kalaupun terjadi, biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.

Dilansir CNBCIndonesia.com, di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk hidup dalam satu atap tanpa ikatan perkawinan.

Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial. “Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebanyak 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda.

“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.

Akibat hal itu, Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.

Sementara itu dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.

Menurut pendataan keluarga 2021 sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.

“Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.

“Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ia menjelaskan.

Editor: Isa Gautama

Artikel Terkait

Berita Populer