progresifjaya.id, JAKARTA – Pelemahan pekonomian nasional akibat pandemi Covid-19 telah berdampak pada ekonomi masyarakat. Di mana terutama masyarakat rentan atau susah banyak yang kesulitan membayarkan cicilan.
Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengatakan, mencatat terjadi lonjakan profil debitur kategori risiko tinggi dan sangat tinggi akibat virus Corona. Persentase debitur berisiko tinggi dan sangat tinggi dari 41,2 persen pada Desember 2019 naik 4 persen menjadi 45,2 persen pada Juli 2020.
Angka tersebut, lanjut dia, merupakan rata-rata dari populasi baik anggota maupun non-anggota Pefindo yang mencakup bank umum, Bank Perkeditan Rakyat (BPR), Bank Perkreditan Daerah (BPD), dan perusahaan pembiayaan. Tren kenaikan itu sejak Maret 2020 atau saat Covid-19 masuk di Tanah Air.
“Pandemi covid-19 mengakibatkan berkurangnya kemampuan bayar sebagian debitur untuk membayar cicilan yang tercermin dari perubahan komposisi risk grade dari data kredit yang kami kelola,” ujarnya dalam video daring, kemarin (15/10).
Dia merinci, dilihat dari masing-masing segmen atau jenis lembaga keuangan, perusahaan pembiayaan atau multifinance memiliki risiko tertinggi. Untuk periode sama, profil risiko tinggi dan sangat tinggi sebesar 57,7 persen.
Diikuti oleh BPR dengan persentase risk grade tinggi dan sangat tinggi, yaitu 46,6 persen dan terakhir bank umum sebesar 33,8 persen. Pun begitu, untuk profil risiko rendah dan sangat rendah, secara umum terjadi penurunan. Begitu pula dengan profil debitur berisiko rendah yang mengalami penurunan tipis dari 30,3 persen menjadi 30,1 persen untuk periode sama.
Demikian juga terjadi kenaikan untuk rasio kredit macet (Non Performing Loan/NPL) untuk bank umum, BPD, BPR, dan perusahaan pembiayaan. Khusus untuk anggota Pefindo, pada Agustus 2020, NPL tercatat sebesar 3,81 persen atau naik 1 persen dari capaian Februari 2020 yaitu 2,81 persen.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperpanjang program restrukturisasi kredit. Program restrukturisasi kredit ini sebelumnya hanya berlaku sampai 31 Maret 2021 sesuai ketentuan pasal 10 POJK 11/2020. Namun, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memastikan pihaknya akan memperpanjang lagi masa berlakunya.
“Untuk restrukturisasi kami sepakat bahwa ini memang dalam kondisi seperti ini harus diperpanjang. Nah perpanjangan ini technically-nya, kalau jatuh tempo sekarang ya diperpanjang lagi. Toh masih ada sampai dengan tahun depan. Dan kalau 6 bulan kan bisa diperpanjang lagi 6 bulan,” Wimboh.
Dalam ketentuan OJK, program itu memang bisa diperpanjang jika dibutuhkan. Sehingga, tanpa perlu membuat aturan baru, perpanjangan dapat dilakukan. “Kita yakini itu akan kita perpanjang. Dan perpanjangan itu simpel, ya karena dalam POJK sebelumnya sudah ada klausul kalau memang diperlukan bisa diperpanjang,” tukasnya.
Editor: Hendy