progresifjaya.id, JAKARTA – Kepemilikan tanah dan bangunan yang terletak di Jl. Bandengan Utara No. 52 A/5, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara tidak jelas, sehingga Peter Sidharta mengajukan permohonan kepemilikan hak Sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentunya setelah semua persyaratan terkait kepemilikannya terpenuhi maka terbitlah Sertifikat.
Namun yang mengaku sebagai ahli waris atas kepemilikan tanah tersebut mengklaim dengan menuduh pemilik sertifikat telah melakukan pemyerobotan dan membuat surat palsu.
Hal itu diungkapkan oleh terdakwa Peter Sidharta di depan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH., MH., didampingi Budiarto, SH., dan Tiares Sirait, SH., MH., di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, juga dihadapan Nopri sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta yang digantikan jaksa pengganti dari Kejari Jakarta Utara, Selasa (23/6).
Peter Sidharta ketika diperiksa sebagai terdakwa mengatakan, pada tahun 1995 atas suruhan dari kantor Ali Sugiarto pernah datang dan mengatakan, bahwa tanah tersebut tidak akan disewakan lagi, melainkan mau dijual. Namun ketika diminta dokumen asli sebagai pemilik sah tidak dapat menunjukkannya, sehingga transaksi jual beli tersebut tidak jadi.
Setelah itu, lanjutnya, pada akhir tahun 2005 Pinantun Hutasoit bersama Sibarani sebagai kuasa dari ahli waris Ali Sugiarto kembali datang, namun tetap tidak membawa dokumen asli sebagai pemilik tanah tersebut, sehingga transaksi jual beli tersebut kembali gagal.
Atas kegagalan tersebut, lanjutnya, dia tidak membayar uang sewa lagi, dikarenakan penagih sewa dari kantor Ali Sugiarta tidak pernah datang menagihnya. Dan sejak dari itulah dirinya mulai merasa curiga, ternyata selama ini dia telah membayar uang sewa tanah tersebut kepada orang yang salah.
Kemudian, tambahnya, sejak penagih dari kantor Ali Sugiarto tidak pernah lagi datang untuk menagih, maka dia pun tidak pernah lagi membayarnya. Selanjutnya, atas advis notaris dirinya dianjurkan untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah negara dan mengajukan permohonan Sertifikat kepemilikan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotamadya Jakarta Utara dan Sertifikat Hak Guna Banguna (SHGB) terbit dari BPN pada tahun 13 Mei 2014.
Sebagaimana fakta yang terungkap dalam persidangan, tanah Egendom Verponding seluas kurang lebih 670 meter di Penjaringan itu masih atas nama Tan Tji Hin sebagai pemilik terakhir. Hal itu diketahui setelah dipertanyakan ke BPN, bagkan terkait dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) atas bangunan gudang tersebut pihak P2B DKI Jakarta mengatakan bahwa IMB tersebut bukan produk dari P2B DKI Jakarta.
Ditambahkannya, menurut advis dari kuasa hukumnya mengatakan, tanah eigendom verponding yang tidak diajukan atau tidak dikonversi menjadi hak milik, maka akan menjadi tanah milik negara, sebagaimana diberlakukannya UU Pokok Agraria tahun 1960.
“Sejak tahun 1983, saya yang membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanah kala itu masih Ipeda dan atas nama sendiri,” ungkapnya.
“Karena itu saya mohonkan juga sertifikat HGB No 2385 atas lahan lainnya dilokasi, karena setelah saya pertanyakan ke BPN dan oleh BPN menjawab, bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara,” katanya.
Dilanjutkannya, pemerintah sendiri mengabulkan permohonan hak yang diajukannya dengan membayar BPHTB sebesar Rp 507.875.000.
Menurutnya, dirinya tidak pernah melakukan penyerobotan atau memasuki pekarangan tanpa ijin, karean Sibarani sendiri ketika itu sebagai Kepala bagian umum di kantor Ali Sugiarta yang memberikan ijin agar dirinya berusaha membuat usaha industri diatas tanah tersebut.
“Saya tidak menyerobot tanah atau memasuki pekarangan tanpa ijin seperti tuduhan kuasa ahli waris Ali Sugiarto, juga saya tidak pernah memalsukan surat, karena semua PBB atas nama saya sendiri,” jelasnya.
Didepan majelis hakim dikatakannya, ahli waris Ali Sugiarto mengutus kuasanya Pinantun Hutasoit dan Sibarani untuk berniat bertransaksi jual beli pada tahun 1995, tetapi ahli waris tersebut tidak dapat menunjukkan dokumen asli kepemilikan atas tanah eigendom verponding tersebut. Juga pada tahun 2005 hal itu terjadi lagi, tetapi transaksi jual beli tersebut kembali gagal, juga dengan hal yang sama yaitu, ahli waris pun tidak dapat menunjukkan bukti aslinya kepemilikannya.
Usai persidangan, terdakwa mengatakan, bahwa akta jual beli (AJB) tanah nomor 100 dibuat pada tahun 1954, tetapi isinya masih perikatan jual beli, hanya saja ditandatangani notaris dan bukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Itu pun baru dibayar Rp 50 dari sebesar Rp550 harga tanah kala itu.
Sementara Yayat Surya Purnadi, SH., MH., CB., sebagai penasehat hukum terdakwa kepada sejumlah media di PN Jakarta Utara usai persidangan mengatakan, terdakwa telah menempati tanah dari tahun tersebut sejak 1983 dan terkait SHGB pun telah dikabulkan penerbitannya oleh yang berwenang yakni BPN Jakarta Utara.
“Satu hal yang tidak masuk logika hukum, pelapor mengklaim tanah milik kliennya sebagai warisan dari almarhum Ali Sugiarto, tetapi tidak bisa menunjukkan dokumen asli sebagai bukti kepemilikannya,” tegasnya.
Anehnya lagi, lanjutnya, Instruksi Gubernur (Ingub) dapat memerintahkan pemilik Sertifikat untuk mengosongkan tanahnya, sedangkan tanah tersebut belum pernah di persengketakan di Pengadilan manapun.
“Kliennya ketika bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hanya menggugat atas terbitnya Ingub dan ahli waris pelapor ketika itu adalah sebagai turut tergugat, serta itu bukan sengketa kepemilikan atas tanah negara tersebut, bahkan yang menandatangani surat Ingub tersebut ketika itu adalah wakil Gubernur,” tegas Yayat Surya Purnadi.
Penulis/Editor: U. Aritonang