progresifjaya.id, JAKARTA – Advokat Rudianto Manurung, SH, MH selaku Penasehat Hukum mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Hary Prasetyo, meminta kepada majelis hakim yang diketuai Susanti Ardi Wibawan SH., MH, agar mengurangi dan meringankan hukuman kliennya, pada saat putusan pada pekan depan. Karena menurutnya, hukuman penjara seumur hidup yang dituntut Jaksa kepada Hary Prasetyo tersebut, sangatlah tidak relevan dan berlebihan.
“Hukuman penjara seumur hidup yang dituntut Jaksa kepada klien kami Hary Prasetyo tersebut, sungguh keterlaluan dan tidak berprikemanusiaan, karena terlalu berat. Sebab, Hary dalam perkara ini, adalah korban dari pada salah seorang elite politik di negeri ini. Oleh karena itulah, kami mohon kepada majelis hakim, agar dapat meringankan hukuman kepadanya. Karena hukuman penjara seumur hidup tersebut tidak relevan dan berlebihan,” ujar advokat muda ini, Selasa (29/9).
Lebih lanjut, Rudianto yang kerap disapa Rudi Manro inipun menilai requisitor (surat tuntutan) Jaksa tersebut, mengabaikan fakta persidangan. Keterangan para saksi-saksi yang nota banenya penting, dan menjadi kunci dalam perkara Jiwasraya ini, entah kenapa tidak pernah dihadirkan. Dengan demikian, kami sangat menyesalkannya, kenapa hal itu bisa terjadi.
“Saya tegaskan sekali lagi, tuntutan seumur hidup itu merupakan kriminalisasi terhadap klien kami,” ungkap Rudi, seraya mengatakan oleh karennya kami meminta keringanan kepada majelis hakim agar bisa meringankan hukuman kliennya Hary, karena dia adalah tulang punggung keluarganya.
Pleidoi Hary Prasetyo

Selain penasehat hukumnya, Hary Prasetyo juga membacakan pledoinnya secara pribadi. Dia juga meminta kepada Majelis Hakim agar meringankan hukumannya. Namun, dalam pledoinya tersebut Hary juga menyinggung mantan Menteri BUMN Rini Soemarno.
“Saya diceritakan dari media bahwa yang melaporkan kasus investasi Jiwasraya adalah Ibu Meneg BUMN Rini Soemarno sendiri kepada pihak-pihak aparat hukum, beberapa saat sebelum beliau lengser dari jabatannya. Ibu menteri menjabat sejak 2015 sampai 2019, jika memang Jiwasraya bermasalah (cadangan dan investasi) kenapa kami ketika periode terebut tidak dipanggil untuk ditegur, dimarahi atau dijewer untuk memperbaiki masalah tersebut. Tidak, Ibu menteri mungkin memilih jalur hukum. Aneh, kejanggalan-kejanggalan di atas ada apa sebenarnya?” kata Hary.
Lebih lanjut Hary berkisah, kala itu Direksi baru pilihan Rini juga tidak memiliki pengalaman di bidang asuransi. Dia menyebut direksi baru yang dipilih Rini saat itu hanya membuat Jiwasraya semakin hancur.
“Direksi baru, terutama Direktur Utama yang dipilih oleh Ibu Meneg BUMN pada tahun 2018, belum pernah memiliki pengalaman menjabat sebagai Direktur Utama. Apalagi bidang asuransi jiwa. Tidak ada. Saya menilai Direksi baru hanya ditugaskan untuk ‘mengebom atau menghancurkan rumah’ (Jiwasraya) daripada memperbaiki sesuatu hal prinsip dan struktural yang dianggap perlu,” jelasnya.
Hary mengaku sedih dan kecewa, sebab ia dituntut seumur hidup oleh Jaksa. Lantas, ia pun menilai bahwa tidak ada satu pun hal yang baik di mata Jaksa, untuk meringankan dirinya.
“Apakah yang ringan hanya karena saya belum pernah ditahan? Perjuangan saya menghidupkan, menyehatkan dan membesarkan Jiwasraya selama 10 tahun, apakah saya seperti pembunuh berdarah dingin yang memutilasi korbannya sehingga saya harus dituntut seumur hidup? Saya merasa fakta persidangan terabaikan, isinya hanya mengulang dakwaan yang berasal dari BAP selama penyidikan,” tandasnya.
Sementara itu, dalam persidangan sebelumnya Hary Prasetyo, dituntut jaksa dengan hukuman penjara seumur hidup, serta dihukum membayar denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan penjara.
Selain Hary, mantan Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan juga dituntut jaksa. Hendrisman dituntut 20 tahun penjara, Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara.
Karena Jaksa meyakini ketiganya melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sedangkan untuk persidangan selanjutnya, dengan agenda putusan atau pembacaan Vonis oleh Majelis Hakim, diagendakan pada Senin, 5 Oktober 2020.
Penulis: Arfandi Tanjung
Editor: Zulkarnain