progresifjaya.id, JAKARTA – Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) ikut berkomentar terkait polemik sertifikasi ulama yang digagas Kementerian Agama. Banyak wejangan yang diberikan JK kepada Menteri Agama, Fachrul Razi. Intinya, JK bilang, sertifikasi ulama bukan perkara mudah.
Hingga kini, program yang digagas Kemenag itu menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan, khususnya NU, Muhammadiyah hingga MUI. Namun, Kemenag bergeming dan tetap melanjutkan proses tersebut.
Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), JK menilai rencana Kemenag melakukan sertifikasi ulama tidak akan mudah. Banyak faktor yang akan menghambat rencana tersebut.
“Yang harus diingat, ulama atau Kiai di Indonesia itu jumlahnya jutaan. Bagaimana bisa disertifikasi sebanyak itu?” kata JK saat menyerahkan 3.900 alat semprot disinfektan ke seluruh masjid di Indonesia, di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, kemarin.
Menurut JK ulama itu gelar yang diberikan masyarakat, bukan oleh instansi resmi. “Bisa jadi, ia tidak bergelar apa-apa (menempuh pendidikan formal) tapi karena memiliki ilmu agama yang baik, maka masyarakat memberinya gelar ulama,” ujarnya.
Wapres ke-10 dan 12 ini menilai, rencana Kemenag untuk melakukan sertifikasi dai hanya bisa dilakukan di lingkungan terbatas. Bisa diterapkan saat dai tersebut diundang berceramah di instansi pemerintah. Sebab tidak mudah mengintervensi masjid yang akan mengundang dai dalam suatu acara.
“Sertifikasi itu khususnya untuk dai yang mau ceramah di masjid yang di atur oleh kantor-kantor pemerintah. Jadi, kantor pemerintah atau masjidnya hanya mengundang dai yang sudah ter sertifikasi, tapi tidak bisa untuk semua masjid yang ada di Indonesia,” sebutnya.
Juru Bicara JK, Husain Abdullah menafsirkan apa yang disampaikan JK. Kata dia, apa yang dikatakan Ketua Umum PMI Pusat itu merupakan perhatian besar terhadap pemerintah dan bangsa ini. apalagi, JK pernah menjadi Wapres Jokowi periode 2014 – 2019, sehingga JK merasa perlu memberi pandangan yang sifatnya mencerahkan.
“Saya kira itu pesan moral yang di sampaikan Pak JK terkait program sertifikasi ulama,” ucapnya kepada Rakyat Merdeka, semalam.
Dia memandang, meski idenya moderat, namun Kemenag akan mengalami kesulitan karena jumlah ulama di Indonesia jutaan. Jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang justru menimbulkan keresahan dan tidak mungkin dieksekusi.
“Pak JK berpikir, tentu berdasarkan logika dan kemampuan untuk melaku kan sesuatu tindakan. Ini suatu stretching kalau di Indonesia tidak bisa diterapkan,” ungkapnya.
Hanya Program Pelatihan
Dirjen Bimas Islam Kemenag, Kamarudin Amin menyatakan, sejak awal Kemenag tidak pernah berencana mensertifikasi ulama. Dia bilang, ini hanya program pelatihan penceramah yang nantinya diberikan sertifikat. “Kemenag tidak ada program mensertifikasi semua ulama, itu tidak ada. Yang ada itu penceramah bersertifikat,” tuturnya dilansir Rakyat Merdeka.
Pelatihan yang akan diberikan berupa penguatan tentang wawasan kebangsaan, ketahanan nasional, pengetahuan tentang konstitusi dan dasar negara. “Bukan sertifikasi ulama seperti sertifikasi profesi yang setelah disertifikasi lalu ada konsekuensi konsekuensinya,” bebernya.
Setidaknya, Kemenag telah memberikan pelayanan ke masyarakat terkait penceramah yang pernah mengikuti pelatihan. Dengan begitu, masyarakat bisa memilih penceramah yang ingin diundang. Namun, tambahnya, bukan berarti yang tidak bersertifikat tidak boleh berceramah.
“Semua sepenuhnya tergantung masyarakat karena di Indonesia penceramah belum menjadi profesi formal, jadi siapapun boleh ceramah,” imbuhnya.
Meski begitu, Kemenag tidak akan menempatkan penceramah bersertifikat di masjid-masjid tertentu. Termasuk masjid yang terdapat di Kementerian dan BUMN. “Mereka tidak akan kami tempat kan di masjid sini ataupun sana,” jelasnya.
Terkait masukan dari berbagai pihak, Kemenag sangat menghargai itu. “Cuma memang saya lihat masih banyak masyarakat yang belum paham karena dapat penjelasan berbeda. Padahal kami dari awal tidak pernah berniat mensertifikasi ulama,” tegasnya.
Editor: Hendy