progresifjaya.id, JAKARTA – Tandatangan seorang lurah di kelurahan dalam satu surat rekomendasi yang dibuatnya di saat menjabat sebagai lurah sah dan berlaku sampai ada yang mempermasalahkan terkait benar tidaknya surat tersebut di pengadilan. Sedangkan untuk pencabutan atau pembatalan tandatangan tersebut hanya bisa dilakukan oleh pejabat baru setempat. Dan, tidak bisa dicabut oleh pejabat tersebut apabila sudah tidak menjabat lagi sebagai lurah di kelurahan setempat.
Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH., ahli administrasi Negara yang juga seorang dosen dan guru besar di Universitas Muhammadiyah Jakarta, di depan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH., MH., didampingi Budiarto, SH dan Tiares Sirait, SH., MH., di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, ketika diajukan oleh Yayat Surya Purnadi, S.Ag., SH., MH., sebagai penasehat hukum terdakwa Peter Sidharta yang didakwa telah memasuki pekarangan tanpa izin dan pemalsuan surat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Selasa (16/6-2020).
“Jadi kalau sebuah sertifikat diterbitkan, berarti jelas sudah melalui prosedur dan mekanisme yang benar dan sertifikat tersebut harus dianggap sebagai dokumen negara yang sah sampai ada yang mempersoalkannya di pengadilan,” ujarnya.
Ditambahkannya, tentang kepemilikan dan terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang menjadikan adanya komplain dari personal atas kepemilikan sebidang tanah hanya melalui dari mulut ke mulut atau face to face itu bukan sengketa. Sebab, adanya persengketaan terkait kepemilikan tanah harus dibuktikan di pengadilan terlebih dahulu.
“Pengadilan lah yang diberikan negara kewenangan untuk menguji siapa sesungguhnya yang berhak menjadi pemilik sebidang tanah tersebut. Hanya pengadilan yang berwenang mengatakan, bahwa itu benar, itu salah atau itu palsu sedangkan itu tidak palsu,” tegasnya.
Dilanjutkannya, kepala daerah baik gubernur, bupati maupun walikota secara hukum tidak berhak melakukan eksekusi terhadap sebidang tanah dan menyatakan bahwa tanah itu milik seseorang. Sebab, terhadap pelaksanaan eksekusi adalah hanya kewenangan pengadilan
Terkait itu, tambahnya, ada tidaknya personal yang mempersoalkan dokumen negara atas rekomendasi lurah sebagai pejabat publik untuk pengajuan permohonan agar diterbitkannya sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka jalur yang harus dilakukan personal tersebut untuk membatalkannya adalah melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jabatan tidak pernah pindah, tetapi pejabatnya kapanpun dapat pindah dan diganti. Pejabat lurah ganti, maka lurah yang diganti tersebut tidak berwenang lagi di kelurahan itu dan yang memiliki kewenangan di Kelurahan setempat adalah pejabat lurah yang baru,” tegasnya menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa terkait kewenangan pejabat lurah dan mantan lurah.
Hal itu dipertanyakan oleh penasehat hukum terdakwa karena Suranta ketika menjabat sebagai lurah di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara pada tahun 2013 lalu, telah menandatangani surat rekomendasi untuk pengajuan permohonan agar diterbitkannya SHGB atas nama Peter Sidharta di BPN Jakarta Utara.
Namun ketika Suranta dipanggil oleh Kepolisian dan diperiksa di Polda Metro Jaya pada tahun 2019, tandatangannya tersebut dicabut secara pribadi. Sebab dia sudah tidak menjabat lagi sebagai lurah di Kelurahan Penjaringan, tetapi telah ditugaskan di Pemda Kotamadya Jakarta Utara
Sebagaimana fakta sebelumnya terungkap, bahwa keterangan Teddy Hadi Subrata sebagai saksi pelapor juga menantu Ali Sugiarto almarhum mengklaim tanah yang terletak di Jl. Bandengan Utara Nomor 52/A 5 RW 015 RT. 001 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Kota Administrasi Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta, adalah milik yang disewakan ke CV. Pacifik Toy (CV. PT).
“Tanah tersebut adalah milik para ahli waris almarhum Ali Sugiarto dan telah disewakan per bulan sejak tahun 1973 kepada CV. PT, serta tidak pernah ada rencana para ahli waris untuk menjualnya,” kata Teddy Hadi Subrata (THS) ketika memberi keterangan di depan majelis hakim.
Sepekan kemudian, keterangan THS tersebut ditengarai bohong belaka, lantaran saksi Bona Pesius Sibarani (BPS) mantan kepala bagian umum ketika bekerja di Kantor Ali Sugiarto mengatakan, bahwa awalnya BPS tidak mengenal terdakwa, tanah tersebut tidak pernah ada rencana para ahli waris untuk menjualnya.
“Majelis Hakim Yang Mulia! Saya memiliki bukti, bahwa BPS sebagai kepala bagian umum dan Pinantun Hutasoit pada tahun 1995 pernah datang menemui terdakwa di kantornya untuk melakukan transaksi jual beli tanah tersebut,” kata Yayat Surya Purnadi sebagai penasehat hukum terdakwa sambil menunjukkan bukti bahwa para ahli waris mau menjual tanah tersebut kepada terdakwa.
Karena itu, tambahnya, keterangan THS dan BPS jelas sangat bertolak belakang. Sebab THS sebagai pelapor jelas telah berbohong, juga keterangan BPS pun sangat banyak bohongnya.
“Baik THS dan BPS jelas telah memberikan keterangan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta yang ada, begitu juga dengan keterangan mantan Lurah Penjaringan membuat peraturan sepihak dan jelas telah melebihi wewenangnya sebagai pejabat publik. Namun demikian, sebagai penasehat hukum tetap menyerahkan penilaian keterangan para saksi kepada Yang Mulia Majelis Hakim,” kata Yayat Surya Purnadi, S.Ag., SH., MH., kepada sejumlah wartawan usai persidangan.
Sementara itu, Nopri sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta dalam menanggapi keterangan ahli mengatakan, bahwa keterangan ahli sangat bagus, namun tidak memberikan tanggapan terhadap keterangan tersebut.
Sebagaimana diketahui dalam dakwaannya yang dibacakan oleh jaksa pengganti dari Kejari Jakarta Utara mendakwa terdakwa sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 167 KUHP dan/atau pasal 263 KUHP.
Penulis/Editor: U. Aritonang