progresifjaya.id, JAKARTA – “Melumpuhkan kekuatan musuh dengan menghancurkan jalur dan fasilitas logistik, maka akan hilang kemampuan dan musuh mudah menyerah, sehingga lokasi yang disengketakan akan sepenuhnya dikuasai”.
Layaknya seperti “teori perang klasik” itulah yang diterapkan oleh Rusly Gunawan pemilik PT. Inti Akuistik Citra Mandiri (PT. IACM) dan Nikolas Suitanto Muhadi (NSM) yang menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT. IACM untuk mencaplok atau merampas tanah tambang milik terdakwa Haji Deden Wahyudin Hasim yang terletak di Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.
Hal itu diungkapkan oleh Tim penasehat hukum terdakwa yakni, Bobby Worotitjan, B.Ac., SH., MH., Minak Kunang., SH., MH., Sutan Siagian., SH., MH., dan Loren Serwor-Wora, SH., dari Kantor Hukum “Bobby Worotitjan & Partners” dalam nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan didepan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH., MH., didampingi Budiarto, SH., dan Tiares Sirait, SH., MH., di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (9/7).
Faktanya, tambahnya, adalah perjanjian kerjasama usaha penambangan pasir, bukan perjanjian utang piutang dengan jaminan lokasi penambangan Sertifikat Hak Guna Usah (SHGU) No. 347 dan SHGU No. 348 seluas 40 Ha.
Namun pemilik lokasi dipidanakan atas tuduhan telah menipunya sebesar Rp 30 miliar, ditambah lagi tuntutan pidana dari Mirna Eka Mariska, SH sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara yang dalam tuntutannya meminta agar majelis hakim supaya memenjarakan terdakwa selama 2 tahun.
Atas tuntutan pidana tersebut, Tim penasehat hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan memberikan putusan yang menyatakan, unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan dituntut JPU tidak satupun dapat dibuktikan di persidangan.
Karenanya terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan JPU.
Membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan sesuai pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum berdasarkan pasal 191 ayat (2) KUHAP, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan (rehabilitasi), kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Menurut Tim penasehat hukum, perkara tersebut sangat jelas ranah perdata karena diawali dengan perjanjian kerjasama usaha penambangan pasir, bukan perbuatan tindak pidana sebagaimana laporan pemilik dana dan dakwaan maupun tuntutan pidana penuntut umum (PU).
Ditegaskannya, dalam perjanjian kerjasama dibidang penambangan pasir tersebut terdakwa sama sekali tidak pernah menggunakan nama, identitas dan martabat palsu, juga dengan rangkaian kata-kata bohong, serta tidak pernah melakukan bujuk rayu kepada pelapor.
Akan tetapi semua identitas terdakwa, kedudukan dalam perusahaan adalah sah, juga perusahaan adalah sah milik terdakwa, justru pelapor sendirilah yang mengajukan kerjasama penambangan pasir tersebut.
Ditambahkannya, sejak awal adanya perjanjian kerjasama usaha penambangan pasir tersebut berjalan sekitar 3 atau 4 bulan, langsung pelapor membuat perubahan perjanjian. Pada saat itulah diketahui adanya niat pelapor untuk menguasai dan mau mengambil alih penambangan. Sebab, terdakwa dilaporkan ke Polres Bogor dengan tuduhan melalukan penipuan yang dilanjutkan laporan di Polda Metro Jaya.
Selain melaporkan terdakwa, lanjutnya, pelapor dalam setiap mengadakan pertemuan dengan terdakwa di Kantor PT. IACM di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta Utara, selalu dihadiri oleh mantan Kapolri Badrodin Haiti, Felix, Ampi Tanujiwa dan Flavia Muliwaty Onggo, Notaris di Cikarang.
Juga pada tanggal 16 Desember 2019, melaporkan kedua putri terdakwa yakni, Sheny dan Wendy di Polda Metro Jaya atas tuduhan melakukan penipuan atas pelapor dan kerugian pelapor sebesar Rp 30 miliar sama dengan tuduhan kepada terdakwa.
Dijelaskannya, bahwa awal mula permasalahannya adalah terdakwa dikenalkan oleh Ampi Tanujiwa kepada pelapor. Setelah itu, terjadilah upaya perjanjian kerjasama di bidang usaha penambangan pasir.
Pelapor memberikan dana sebesar Rp 22,5 miliar untuk membangun jalan, jembatan dan infrastrutur lainnya agar penambangan pasir berjalan lancar dan ditambah biaya yang tidak diperhitungkan sebesar Rp 5 miliar, sehingga total dana yang diberikan pelapor sebanyak Rp 27,5 miliar. Namun, dana sebesar Rp 5 miliar tersebut tidak pernah diterima terdakwa, karena pelapor transfer ke kontraktor.
Ditegaskannya, terdakwa sama sekali tidak akan dapat untuk memenuhi atau mewujudkan apa yang diperjanjikan. Sebab, setelah pelapor membuat perubahan perjanjian, pelapor sudah melaporkan terdakwa di Polda Metro Jaya dan mengalami penahanan.
“Namun karena situasi Pandemi-19, penahanan terdakwa dialihkan menjadi tahanan kota. Dan juga sama sekali baik terdakwa, keluarga dan karyawan terdakwa tidak diperbolehkan meninjau lokasi penambangan,” tutupnya.
Penulis/Editor: U. Aritonang