progresifjaya.id, JAKARTA – Publik heran dan mempertanyakan bagaimana bisa Kementerian ESDM menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kepada lima perusahaan melakukan eksplorasi penambangan nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Padahal, di wilayah itu sudah dinyatakan terlarang untuk penambangan apapun, karena sangat rentan dengan perusakan ekosistem yang perlu dijaga dan dilestarikan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang ada.
Pulau-pulau di wilayah Kabupaten Raja Ampat sudah semestinya bebas dari segala aktivitas pertambangan demi menghentikan potensi krisis ekologi. Oleh karenanya aparat penegak hukum Polri dan Kejaksaan Agung harus turun tangan mengusut bagaimana kelima perusahaan bisa mengantongi izin tambang di Raja Ampat.
“Nah, jangan-jangan gitu ya, selamanya di Indonesia itu kan ada semacam KKN gitu ya. Ada semacam kongkalikong sehingga keluarlah izin tadi. Nah, ini barangkali perlu diusut kalau itu terbukti, ya harus ditindak secara pidana dengan aturan hukum yang ada,” kata pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi dikutip CNNIndonesia, Jumat (13/6).
Fahmy memperkirakan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua telah menimbulkan kerugian yang secara nominal bahkan melebihi dampak kasus PT Timah Tbk. Kerusakan ekosistem imbas aktivitas pertambangan lebih besar nilainya ketimbang keuntungan ekonomi yang dikantongi negara dari kegiatan sejumlah perusahaan tambang beroperasi di Raja Ampat.
“Apalagi ini untuk di Raja Ampat, itu kan banyak flora, fauna dan spesies yang langka. Kalau itu kemudian punah, itu kan nggak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Nah, maka itu kerugiannya sangat besar,” kata Fahmy.
Secara kalkulasi, lanjut Fahmy, nilai kerugian negara dari aktivitas pertambangan di Raja Ampat bisa lebih dari Rp300 triliun. Hal ini berkaca dari kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup, negara mengalami kerugian senilai Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan dari penambangan ilegal dalam kasus PT Timah. “Nah, maka berdasarkan hitungan itu ya sebesar itu kerugian kerusakan alam, tapi mestinya kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar,” kata Fahmy.
Bagi Fahmy, langkah Presiden Prabowo Subianto mencabut IUP empat dari lima perusahaan yang beroperasi di kawasan Raja Ampat belumlah cukup. Dia berharap pemerintah memberikan perlakuan serupa buat PT Gag Nikel (GN) yang di bawah kendali BUMN PT Antam.
Dari kacamata Fahmy, dalih bahwa perusahaan tersebut telah mengimplementasikan reklamasi secara baik, maupun jarak 40 kilometer antara lokasi tambang di Pulau Gag dengan pusat konservasi utama Raja Ampat tidak dapat dijadikan pembenaran.
Sebab limbah tambang nikel berupa debu bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer. Ini tentu bisa menimbulkan kontaminasi, bahkan membahayakan kesehatan manusia karena kandungan arsenik dalam debu tambang nikel ini.
Jadi kalau alasannya tidak ditutup itu tidak tepat juga. “Nah, kemudian yang paling penting juga PT Gag itu melanggar undang-undang,” sambungnya.
Menurut Fahmy, PT Gag telah melangkahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut juga melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2 ribu kilometer persegi.
“Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu ya. Nah, itu melanggar,” tegas Fahmy.
Sebelumnya, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki IUP di wilayah Raja Ampat. Dua perusahaan, PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Sementara tiga lainnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, mengantongi izin dari Pemerintah Daerah Raja Ampat.
Keberadaan dan aktivitas mereka telah menjadi sorotan menyusul pencabutan IUP oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap empat di antaranya. Pencabutan IUP itu langsung diumumkan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadia dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofik.
Bareskrim Polri pun mulai menyelidiki dugaan tindak pidana terkait IUP di kawasan Raja Ampat. Seperti kata Direktur Tindak Pidana Tertentu, Brigjen Nunung Syaifuddin, penyelidikan dilakukan terhadap empat IUP yang telah dicabut pemerintah. Pihaknya tengah menyelidiki dugaan tindak pidana yang dilakukan empat perusahaan tambang nikel itu Penyelidikan difokuskan pada dugaan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan penambangan.
Sementara Kejaksaan Agung berpeluang mengusut kasus dugaan pelanggaran atau suap dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Namun pihaknya masih menunggu laporan dari masyarakat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar, menyebut penelusuran baru bisa dilakukan jika ada laporan resmi dari masyarakat. “Kalau ada laporan pengaduannya,” kata Harli.
Menurut dia, laporan resmi dari publik atau lembaga menjadi pintu masuk awal bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penelitian dan pengecekan lebih lanjut. “Supaya ada bahan, ada dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pengecekan, sebenarnya apa yang terjadi di sana,” ujar Harli.
Editor: Isa Gautama