progresifjaya.id, JAKARTA – Pujian dan apresiasi kepada, anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam yang mengkritik rencana pemerintah memajaki transaksi para penjual di toko online di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, termasuk UMKM daring.
Kritik tajam legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini viral di media sosial dan mendapat tanggapan beragam dari warga net yang umumnya mendukung legislator ini yang pro rakyat. Sebaliknya netizen menghujat Menteri Keuangan yang membuat kebijakan tersebut.
“Anggota dewan itu benar2 sudah mewakili rakyat, agar ibu menteri tidak gampang membuat kebijakan memajaki rakyat,” komentar netizen di Instagram (IG) sahabatsurga yang dilihat, Minggu (29/6).
“Apa apa dipajakin, gak tau apa, masyarakat sekarang cari uang hampir sekarat. Enak aja tuh ibu menteri main pajakin rakyat,” celetuk netizen yang lain.
Ada juga yang menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar diganti, karena kerjanya majakin rakyat doang. “Udah kelamaan tuh duduk di kabinet, sampai 3 presiden bercokol, pinternya ngegedein pajak rakyat aja. Parah…”
Dua hari lalu legislator bernama lengkap Mufti Aimah Nurul Anam (38) ini minta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan memungut pajak penjual di toko online atau online shop di marketplace. Sebab rata-rata mereka adalah para Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang harusnya dibantu bukan malah dipajakin. “Negara seharusnya jadi pelindung, bukan pemalak yang memanfaatkan keadaan,” kata Mufti Anam dalam keterangan tertulisnya, akhir minggu lalu.
Menurut Mufti, rencana ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi masyarakat yang babak belur di tengah ketidakpastian ekonomi nasional maupun global. “Rakyat sedang berdarah-darah, terutama pelaku UMKM yang berjualan secara online maupun offline. Persaingan usaha tidak sehat, daya beli menurun, ekonomi global juga belum pulih. Dalam situasi seperti ini, bukannya diberi napas, malah ditambah beban rakyat dengan pajak lagi,” ujar Mufti.
Anggota dewan asal Banyuwangi, Jawa Timur ini, bertanya-tanya apa maksudnya pedagang olshop dipajaki. Pasalnya, pelaku UMKM yang berjualan online sudah menghadapi banyak potongan, termasuk potongan komisi dari penyedia platform. “Mereka dipotong komisi oleh marketplace, bayar biaya iklan agar produknya muncul di pencarian, dipotong ongkir, diskon promo, dan biaya-biaya tersembunyi lainnya,” sambungnya.
Mufti yang juga seorang dokter itu mengingatkan agar kebijakan fiskal yang dirancang pemerintah tidak bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang mengusung keberpihakan terhadap ekonomi rakyat dan UMKM. Mufti secara khusus menyinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani agar lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan.
“Pak Prabowo selalu menekankan soal keberpihakan pada wong cilik, pada ekonomi rakyat. Tapi kebijakan Kemenkeu ini justru menusuk dari belakang semangat itu,” ucapnya.
Mufti mengungkapkan keprihatinannya terhadap banyaknya pelaku usaha yang harus gulung tikar karena tekanan biaya yang sudah besar, bahkan sebelum rencana pajak diberlakukan. Ia menilai negara harus introspektif. “Apakah selama ini benar-benar sudah memberikan dukungan nyata bagi UMKM,” tanyanya.
Oleh karena itu, ia mendesak agar rencana pengenaan pajak di para penjual online shop di marketplace dikaji ulang secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kesiapan regulasi dan sistem pendukung, serta memastikan pelibatan langsung dari para pelaku UMKM.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Indonesian E-Commerce Association (idEA), Budi Primawan minta kepada pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan pengenaan pajak terhadap para penjual toko online di Marketplace. Pasalnya saat ini mereka menganggap sudah banyak beban potongan dari platform E-commerce.
Jadi, menurut Sekjen Asosiasi E-Commerce itu, jika ditambah pajak lagi tentu para toko online, keberatan. Sementara kini banyak platform E-commerce yang kabur atau tutup sehingga pelaku bisnis online juga mengalami kesulitan menjual barang-barangnya. “Masalah potongan aja, mereka banyak protes, apalagi ditambah pajak,” kata Budi.
Sementara itu para pelaku UMKM yang berjualan di toko online menyatakan keberatannya jika usaha mereka dikenakan pajak. “Kalau dilihat kondisi saat ini, beban biaya kami sudah banyak. Mulai dari biaya komisi e-commerce di kisaran 2 sampai 8%,” tutur para pedagang.
Sudah begitu, pedagang juga menanggung banyak biaya lainnya. Seperti biaya layanan, logistik, promosi serta biaya packaging and handling. “Kalau dijumlahkan, bisa mencapai belasan hingga puluhan persen. Nah, pedagang yang omsetnya naik dan turun di kisaran Rp500 juta, tentu akan makin pening,” paparnya.
Editor: Isa Gautama