Wednesday, July 9, 2025
BerandaOpiniSampah Bukan Soal Teknis, Tapi Cermin Ketimpangan dan Budaya Kita

Sampah Bukan Soal Teknis, Tapi Cermin Ketimpangan dan Budaya Kita

Oleh: Herry Trijoko

Ketika berbicara tentang sampah, kita sering terjebak dalam urusan teknis: jumlah tonase per hari, volume ke TPA, atau jenis teknologi pengolahan. Tapi di balik itu semua, ada wajah yang jauh lebih dalam dan menyakitkan: sampah adalah cermin dari ketimpangan sosial, budaya konsumsi, dan kegagalan sistemik. Ini sisi yang jarang kita lihat—atau justru, kita hindari melihatnya.

Sampah dan Ketimpangan Sosial

Di kota-kota besar, kawasan elite kerap tampil bersih dan rapi. Itu bukan karena mereka menghasilkan sedikit sampah, tapi karena mereka mampu “membuangnya” jauh dari pandangan. Sebaliknya, kawasan padat dan miskin justru sering menjadi titik penumpukan sampah. Ketika kita bicara tentang kota tanpa sampah, sebetulnya siapa yang kita maksud? Warga perumahan elite yang punya armada angkut pribadi, atau masyarakat kampung yang hidup berdampingan dengan tempat buangan?

Kita jarang melihat bahwa sistem ini telah menciptakan ketimpangan ruang: akses terhadap lingkungan bersih menjadi sebuah privilese, bukan hak semua warga.

Sistem yang Menolak Tanggung Jawab

Setiap kali kita membuang sampah, sebenarnya kita sedang membuat keputusan etis. Namun sistem pengelolaan kita justru didesain untuk memutus tanggung jawab itu. Asal sampah sudah keluar dari pagar rumah, maka urusan selesai. Tidak penting ke mana ia dibawa, bagaimana ia diolah, atau siapa yang bekerja memungutnya. Ini menciptakan ilusi bahwa sampah “hilang dengan sendirinya.”

Padahal, di balik itu, ada ribuan pemulung yang menyaring plastik, ada pekerja informal yang menanggung beban limbah kota, sering tanpa perlindungan kesehatan atau sosial.

TPS Kawasan: Solusi yang Ditolak Karena Terlalu Dekat

Strategi desentralisasi pengelolaan sampah melalui TPS Kawasan adalah upaya penting untuk mengurai krisis ini. Tapi ironisnya, banyak warga menolak TPS kawasan dibangun di dekat lingkungan mereka sendiri. Muncul sindrom Not In My Backyard (NIMBY)—semua sepakat perlu solusi, asal bukan di halaman rumahnya.

Masyarakat menginginkan kota bersih, tapi tidak mau menanggung bagian dari prosesnya. Ini bukan soal teknologi, tapi soal paradigma: kita perlu membongkar cara pandang yang menempatkan sampah sebagai “beban orang lain.”

Sampah dan Politik Pencitraan

Kita juga tak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa isu kebersihan sering dijadikan alat politik. Lomba kampung bersih, gerakan pungut sampah menjelang Adipura, hingga program dadakan saat menjelang pemilu. Setelah itu, kembali ke status quo. TPS terbengkalai, edukasi berhenti, dan warga kembali jadi penonton.

Pengelolaan sampah tidak bisa didekati sebagai proyek satu kali, tetapi harus sebagai sistem kehidupan yang terus bergerak dan melibatkan semua pihak—dari rumah tangga hingga pemangku kebijakan.

Penutup: Kota Tanpa Sampah Bukan Ilusi

Kota tanpa sampah bukan utopia. Tapi itu hanya bisa terwujud jika kita berani melihat sampah bukan sebagai masalah teknis, tapi sebagai realitas sosial, politik, dan budaya. Kita perlu membangun sistem yang adil, partisipatif, dan transparan. Kita butuh lebih dari sekadar teknologi—kita butuh keberanian untuk mengubah cara kita hidup dan memproduksi.

Penulis adalah Koordinator Komite Sub DAS Cikundul, Pemerhati Lingkungan dan Penggerak Kota Berkelanjutan

Artikel Terkait

Berita Populer