progresifjaya.id, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyatakan mencabut empat izin tambang di pulau kecil di kawasan Raja Ampat pada Selasa, 10 Juni lalu. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Namun aktifitas pertambangan di pulau-pulau kecil lainnya disebut masih sangat masif.
Hal ini terungkap dimana Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan data bahwa terdapat 35 pulau kecil di Indonesia yang sudah dikaveling untuk pertambangan. Total luas pertambangan itu mencapai 351.933 hektare dengan 195 izin tambang.
Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman mengatakan setelah munculnya kasus Raja Ampat, pemerintah seharusnya juga mencabut 195 izin tambang lainnya di Indonesia yang terbit di pulau-pulau kecil. “Karena aturan hukumnya sudah jelas, bahwa aktivitas pertambangan pulau-pulau kecil tidak diperbolehkan,” kata Alfarhat dikutip Kamis, 12 Juni 2025.
Selain bertentangan dengan undang-undang, dia mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa pulau-pulau kecil tidak bisa ditambang sama sekali.
Alfarhat mengatakan pulau-pulau kecil juga rentan jika dijadikan area tambang. Penambangan tersebut akan memperparah krisis iklim dan memicu naiknya permukaan air laut. “Tidak tertutup kemungkinan dampak tambang di pulau-pulau kecil bisa menenggelamkan pulau tersebut,” ujarnya
Jatam selama ini sudah melakukan kampanye tambang di pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Wawonii, Obi, Kabaena, hingga Sangihe. Namun saat ini baru Raja Ampat yang mendapat sorotan publik. “Karena Raja Ampat merupakan kawasan pariwisata dilindungi UNESCO, padahal selain Raja Ampat, saat ini ada 35 pulau lagi yang sama-sama terancam,” kata dia.
Tumpang Tindih Regulasi
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap penyebab maraknya aktivitas tambang di pulau-pulau kecil, termasuk di kawasan seperti Raja Ampat. Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Ahmad Aris menyebut persoalan utamanya adalah tumpang tindih regulasi dan kewenangan antar kementerian.
“Di atas kertas, aktivitas tambang di pulau kecil jelas dilarang. Tapi dalam praktiknya izin tetap keluar karena proses perizinannya saling tumpang tindih,” kata Aris dalam acara peluncuran riset bertajuk Surga Terakhir oleh Greenpeace Indonesia di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Juni 2025.
“Khusus di Raja Ampat, bukan cuma pulau kecil,” ujar Aris. Dia mencatat banyak pulau yang ukurannya termasuk sangat kecil yakni di bawah 100 kilometer persegi atau 10 ribu hektare.
KKP memiliki wewenang untuk memberi izin atau rekomendasi pemanfaatan pulau kecil, terutama untuk investasi. Namun, Aris menyebut kewenangan ini baru bisa dijalankan secara efektif sejak 2023 karena sebelumnya berbenturan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Persoalan tidak berhenti di situ. Aris menjelaskan sistem Online Single Submission juga jadi kendala. Dalam sistem ini, kata dia, KKP hanya bisa memproses izin di luar kawasan hutan. “Kalau wilayahnya masuk kawasan hutan, maka otomatis jadi urusan Kementerian Kehutanan,” kata dia.
Meski begitu, Aris mengatakan posisi KKP kini mulai diperkuat setelah revisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Aris menyebut, aturan baru ini menempatkan kementerian di posisi awal dalam proses pemberian izin di wilayah pulau kecil.
“Di PP yang baru, rekomendasi dari KKP menjadi langkah pertama. Baru setelah itu bisa masuk ke kajian lingkungan, dan kemudian izin usaha,” ujar dia.
Tapi masih ada satu masalah lagi. Dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara, izin usaha tambang bisa keluar lebih dulu sebelum aspek lingkungan diperiksa. Akibatnya, tambang-tambang di pulau kecil bisa tetap beroperasi tanpa rekomendasi KKP.
Ia menilai, harmonisasi lintas regulasi dan kementerian menjadi kunci untuk melindungi pulau-pulau kecil dari kerusakan lebih lanjut. “Kalau dibiarkan, regulasi-regulasi ini akan terus bertabrakan,” kata Aris. (Red)