Monday, May 12, 2025
BerandaBerita UtamaSuksesnya Para Konglomerat: 'Lebih Baik Jadi Bos di Usaha Kecil Sendiri, daripada...

Suksesnya Para Konglomerat: ‘Lebih Baik Jadi Bos di Usaha Kecil Sendiri, daripada Jadi Bawahan di Perusahaan Besar’

progresifjaya.id, JAKARTA – Mengapa warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa atau China banyak yang sukses jadi konglomerat? Lihat saja laporan Indonesia’s 50 Richest versi Forbes, peringkat ke 1 sampai 5 miliarder terkaya di Indonesia ditempati para konglomerat keturunan China yang menguasai berbagai bisnis besar Nusantara.

Padahal, umumnya para konglomerat itu dulunya hidup dalam keterbatasan ekonomi atau dengan kata lain orang tidak berpunya. Seperti generasi pertama maupun kedua yang sudah lama menetap dan jadi WNI. Namun siapa sangka 30 sampai 40 tahun berselang bisa menjadi konglomerat yang kekayaannya tidak habis sampai 7 turunan.

Salah satu contoh saja orang terkaya di Indonesia, Prayogo Pangestu yang terlahir dengan nama Phanh Djoen Phen (79). Konglomerat yang kekayaannya Rp 861,92 triliun pernah menjadi sopir angkot pada masa mudanya. Juga konglomerat yang belakangan heboh dengan PIK 2 Sugianto Kusuma alias Aguan. Saat mudanya pernah bekerja sebagai penjaga gudang dan juru bersih-bersih di perusahaan impor. Lelaki 74 tahun itu adalah pendiri dan sekaligus pemilik PT Agung Sedayu Group dengan harta kekayaan lebih dari 42, 73 triliun yang juga masuk orang terkaya di Indonesia.

Masih banyak pengusaha-pengusaha kaya keturunan Tionghoa yang berjaya bisnisnya di Indonesia. Namun kini mereka sudah pada sepuh, bahkan ada beberapa yang sudah meninggal dunia. Usahanya yang besar banyak diwariskan dan diteruskan oleh anak-anak mereka.

Salah satu peneliti untuk Harvard Business Review, John Kao menemukan jawaban dari pertanyaan mengapa WNI keturunan banyak yang sukses? Ia telah mewawancarai lebih dari 150 pengusaha keturunan Tionghoa dari dalam maupun luar China. Hasilnya, dia menemukan bahwa tradisi Konfusianisme memiliki pengaruh yang kuat dalam bisnis orang keturunan China di mana pun mereka berada.

Konfusianisme dipahami sebagai paham yang berlaku di zona kebudayaan yang terdiri dari China, Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Vietnam.

Paham Konfusian menitikberatkan pada keharmonisan antara satu individu dengan individu yang lainnya untuk hidup saling mengasihi diantara mereka.

Berdasarkan hasil penelitian Kao, sebanyak 90 persen dari 150 pengusaha yang diwawancarai merupakan generasi pertama dari para imigran yang hengkang dari China saat kondisi perang. Lalu, 40 persen di antaranya pernah mengalami dampak dari bencana politik, seperti revolusi kebudayaan.

Sementara itu, 32 persen lainnya mengaku bahwa mereka pernah kehilangan rumah di masa lalu. Terakhir, 28 persen pengusaha mengaku pernah mengalami kehilangan kekayaan akibat bencana ekonomi di China.

Pada masa China kuno, para petani berusaha keras untuk bisa bertahan hidup dari berbagai ancaman, seperti badai, kekeringan, hingga hama. Selain itu, bagi para imigran Tiongkok, bisnis menjadi salah satu kunci utama agar mereka bisa bertahan hidup, terutama saat terjadinya krisis dan perpecahan. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu cikal bakal banyaknya keturunan Tionghoa yang menjadi pengusaha.

Mentalitas bertahan di tengah ‘badai’ kehidupan sekaligus penyintas sejarah kelam China membentuk karakter para warga keturunan Tionghoa hingga saat ini. Karena itu, tak heran kalau pengusaha keturunan Tionghoa terkenal ulet dan pekerja keras.

Sejarah gejolak politik dan sosial China menghadirkan nilai serta prinsip bagi para keturunan Tionghoa yaitu, melakukan penghematan untuk dapat terus bertahan hidup. Kemudian memiliki tabungan sebanyak-banyaknya dan selalu bekerja keras untuk menghindari kemungkinan terburuk yang tidak dapat diprediksi.

Prinsip yang lain, mereka harus percaya kepada keluarga dari pada orang lain. Selalu utamakan pendapat dari kerabat yang tidak kompeten dalam bisnis keluarga daripada penilaian orang asing yang kompeten.

Selalu patuh terhadap sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam bisnis demi menjaga keselarasan dan arah perusahaan. Selanjutnya, investasi harus berdasarkan kekerabatan atau afiliasi keluarga, bukan prinsip abstrak dan mengutamakan untuk memiliki barang berwujud, seperti bangunan, sumber daya alam, dan emas batangan daripada barang tidak berwujud, seperti sekuritas tidak berwujud atau kekayaan intelektual.

Bila mengacu pada nilai-nilai prinsip tersebut maka tak heran bila masyarakat keturunan Tionghoa, terutama mereka yang menjadi generasi pertama, sebagian besar mendirikan bisnis-bisnis yang menghasilkan barang berwujud, seperti perusahaan real estate, perkapalan, hingga ekspor-impor. Industri semacam itu umumnya memerlukan rentang kendali yang terbatas dan dapat dikelola secara efektif oleh sekelompok kecil orang dalam yang anggotanya bisa diambil dari anggota keluarga sendiri.

Sebagian pengusaha keturunan Tionghoa cenderung mengelola perusahaannya seperti kaisar China mengelola kerajaannya. Maka dari itu, tak heran bila aset bisnis biasanya hanya diwariskan kepada anggota keluarga. Bahkan di Asia, para jajaran eksekutif dalam suatu bisnis profesional tidak pernah ragu menerima anggota keluarga sebagai pemimpin perusahaan mereka.

Berdasarkan penelitian Kao, sebagian besar pengusaha keturunan Tionghoa berpegang teguh pada salah satu pepatah Tiongkok kuno, “Lebih baik menjadi kepala ayam daripada menjadi ekor sapi besar.” Di era saat ini, pepatah itu kurang lebih berarti bahwa mereka lebih memilih menjadi bos di bisnis milik sendiri meskipun skalanya kecil, daripada menjadi bawahan di sebuah perusahaan besar.

Penulis/Editor: Isa Gautama

Artikel Terkait

Berita Populer