progresifjaya.id, JAKARTA – Runtuhnya kerajaan media elektronik televisi sudah mulai terlihat. Media TV sebesar Kompas pun ikut koleps, dengan mem-PHK personilnya sebanyak 150 orang. Kemudian TV One 75 orang, CNN TV 200 orang dan belakangan INews TV juga mengurangi karyawan sampai lebih 100 orang.
Jauh sebelumnya Net TV sudah menutup langsung perusahaannya dengan mem-PHK seluruh karyawan dengan diberi pesangon yang memadai. Begitu juga dengan ANT TV.
TVRI dan RRI juga lebih banyak mem-PHK karyawan, wartawan dan para kontributornya di seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan karena efisien anggarannya yang dipangkas. Kemudian PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek) yang membawahi SCTV, Indosiar dan Mentari TV rencananya mem-PHK 100 karyawan.
Tidak media elektronik saja yang koleps, media online atau daring sebesar detik.com kabarnya juga akan mem-PHK karyawan dan wartawannya, termasuk redaksi dan redpelnya. Viva.co.id, kabarnya pula akan menutup kantornya di Pulogadung. dan media di bawah group MNC juga akan merampingkan personil redaksinya.
Lalu mengapa media-media tersebut ambruk. Jawabannya adalah ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital atau media sosial, web, situs dan lain sebagainya. Media konvensional seperti TV dan media daring harus tunduk pada banyak aturan serta menanggung biaya produksi tinggi. Sementara platform digital menikmati keleluasaan, namun tetap bisa meraup keuntungan besar.
Hal inilah yang membuat terjadinya krisis iklan di media konvensional, padahal iklan merupakan sumber pendapatan untuk membiayai produksi termasuk gaji jurnalis atau wartawan.
Sekarang para pengiklan lebih suka membayar influencer atau selegram mempromosikan produknya di platform digital seperti media sosial, ketimbang mengiklan di media mainstream atau media online. Dunia permediaan kini sudah berubah, kalah bersaing dengan medsos, web atau situs-situs di internet yang sangat gampang memperoleh akses guna membuat dan menayangkan konten-konten kreatif.
Contoh paling konkrit adalah Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi yang memangkas anggaran publikasi dari puluhan miliar hanya menjadi Rp 3 miliar saja. Dedi cukup membayar influencer dengan membuat konten-konten di media sosial yang selalu viral. Ini bahkan lebih ampuh dari pada membayar media atau pasang iklan yang efeknya kurang sampai ke masyarakat.
Dengan viralnya konten-konten di platform digital itu, artinya pesannya sampai ke masyarakat, tidak hanya di Jawa Barat saja tapi di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri.
Ulah Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini banyak diikuti oleh kepala daerah lain. Demi efisiensi, mereka memangkas anggaran publikasinya yang besar. Hal inilah yang membuat keberadaan media konvensional di daerahnya tidak berkembang. Mereka tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah setempat. Anggaran untuk meliput dan juga iklan habis dipangkas.sampai lebih 50 persen.
Demi efesiensi anggaran, sekarang ini para pejabat termasuk kepala daerah tidak lagi banyak membawa jurnalis dalam kunjungan kerjanya baik di dalam maupun luar negeri. Cukup membawa satu atau dua influencer, beritanya bisa viral di media sosial.
Seperti juga Pengurus PSSI, menurut salah seorang wartawan di SIWO, mereka lebih suka bawa influencer atau selegram saat timnas bertanding di luar negeri ketimbang wartawan yang biayanya cukup besar.
Sekarang ini influencer atau selegram laris manis mendapat job dari perusahaan untuk mempromosikan produknya di media sosial. Artis-artis pun ikut-ikutan membuat konten-konten kreatif yang menerima order promosi cukup tinggi.
Para pelaku media iklan juga sekarang bikin web atau situs di medsos. Mereka mengelolanya cukup mahir, hingga banyak produsen mempromosikan produknya di media tersebut.
Nah, kalau sudah begini keadaannya, apakah media mainstream dapat bertahan? Tentu tidak, lama kelamaan mereka akan tergerus oleh platform digital yang makin mudah di akses dengan jari-jari tangan di handphone. Maka, yang menjadi korban adalah wartawan.
Penulis/Editor: Isa Gautama