Tuesday, December 3, 2024
BerandaNasionalTidak Seperti Seniornya Sering Marah-marah, Gibran Pakai Komunikasi Simbolik Tegur Aparatnya

Tidak Seperti Seniornya Sering Marah-marah, Gibran Pakai Komunikasi Simbolik Tegur Aparatnya

progresifjaya.id, JAKARTA – Sebelumnya orang ragu akan kepemimpinan anak presiden ini menjadi Walikota Solo, Jawa  Tengah. Ternyata Gibran Rakabuming belakangan dipuji dengan sikapnya yang sangat baik dan santun, hingga dia disegani oleh aparat di bawahnya.

Tidak mentang-mentang anak presiden bisa menegur atau membentak-bentak pejabat yang mungkin lebih tua dari umurnya, tapi dia punya cara unik yang patut ditiru kepala daerah lain dalam menegur bawahannya. Ini yang disebut ‘high context communication’ dan itu tampaknya berhasil.

Cara komunikasi Gibran ini adalahk erap meninggalkan mobil dinasnya yang bernomor plat merah AD 1 A di tempat yang dianggapnya para pejabat di sana kurang tanggap. Ini dilakukan dengan sengaja, agar mereka merasa diawasi kinerjanya.

Komunikasi jenis ini tentu berbeda dengan para kepala daerah lain yang gampang marah melihat kinerja aparatnya buruk. Seperti seniornya, mantan Walikota Surabaya yang kini jadi Mensos, Tri Rismaharini dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang cendrung marah-marah jika menegur aparat bawahannya. Juga mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sering membentak-bentak aparatnya di depan umum.

Tapi Gibran rupanya mempunyai cara sendiri saat mengoreksi kesalahan aparatnya, baik di lapangan maupun di dalam kantor lingkungan Pemkot Solo.

Dia hanya diam, dialog seperlunya, namun tidak marah-marah. Ternyata aksinya itu membuat sadar banyak pihak, hingga para pejabat yang bersangkutan memperbaiki kinerja mereka.

Aksi Gibran yang meninggalkan mobil dinas Toyota Innova putih dengan nomor polisi AD 1 A dilakukan di SD Negeri 113, Nusukan.

Tindakan tersebut dilakukan Gibran setelah memergoki banyak guru dan murid di sekolah itu yang tak menggunakan masker saat kunjungannya, Selasa (9/11) lalu.

Gibran juga pernah meninggalkan mobilnya di Kantor Kelurahan Gajahan beberapa waktu lalu setelah terjadi dugaan pungutan liar atau pungli.

Lurah Gajahan disebut-sebut terseret dalam aksi pungli. Sebab, Petugas Linmas, yang melakukan pungli, menggunakan surat yang ditandatangani lurah untuk meminta dana jelang lebaran. Buntut persoalan itu, Gibran mencopot Lurah Gajahan, Suparno.

Gibran pernah pula meninggalkan mobil dinasnya di sekitar Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon pada 21 Juni lalu. Tindakan itu ia lakukan setelah anak-anak dari sekolah Islam setempat merusak makam dengan simbol dari agama lain.

Beberapa waktu setelah itu, Polres Surakarta menetapkan tujuh anak yang melakukan perusakan sebagai tersangka.

Gibran pun pernah memarkirkan mobilnya di depan SMK Batik 2 Surakarta, Pajang, Laweyan pada Agustus lalu. Tindakan ini dilakukan setelah mengetahui sekolah tersebut akan menggelar simulasi pendidikan tatap muka (PTM). Padahal, saat itu Kota Solo sedang menerapkan PPKM Level 4. Pihak sekolah diketahui sudah terlanjur mengirimkan surat mengenai PTM ke orang tua murid.

Setelah tindakan Gibran, pihak kepala sekolah meminta maaf dan membatalkan rencana menggelar simulasi PTM di tengah pelaksanaan PPKM Level 4.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran, Kunto Aji Wibowo menyebut tindakan Gibran meninggalkan mobil di suatu tempat yang bermasalah sebagai satu bentuk high context communication.

Menurut Adi, dengan cara komunikasi seperti itu, Gibran tidak perlu melontarkan suatu pernyataan secara lisan. Namun, pihak yang bersangkutan akan mengerti bagaimana sikap walikota akan masalah itu.

“Mas Gibran cukup memarkir mobilnya dengan itu dia sudah bilang bahwa saya tahu loh ada masalah di sini dan saya ada loh, hati-hati kamu. Gitu aja,” kata Adi seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (9/11) malam.

Menurut Adi, high context communication banyak dilakukan di negara timur seperti Jepang, China, dan Indonesia. Cirinya, dalam berkomunikasi orang berbasa basi, tidak to the point, dan sering menyindir.

Selain itu, melalui cara komunikasi semacam ini, menurut Adi, Gibran tengah menjaga wajah atau martabat pihak yang bersangkutan.

Dalam kasus masalah sekolah misalnya, Adi menduga jika Gibran memarahi langsung kepala sekolah maka akan terjadi resistensi atau perlawanan. Sebab, kepala sekolah itu merasa tidak dihormati.

“Dia menjaga face atau wajah atau martabat orang yang dia sindir tapi efektif untuk menyelesaikan masalah,” tutur Adi.

Meski demikian, menurut Adi gaya komunikasi politik semacam ini memiliki kekurangan, yakni tidak terjadi dialog. Dalam kasus sekolah yang berencana menggelar simulasi PTM misalnya, tidak terjadi dialog untuk mencari solusi atas tidak diperbolehkannya pembelajaran itu.

Sementara dalam kasus pungli di Gajahan masih menjadi pertanyaan apakah tindakan Gibran tersebut berhasil menyentuh akar persoalan.

Menurut Adi, semestinya Gibran menyelesaikan hingga akar masalah dan tidak hanya menutup gejala dari masalah yang terjadi.

“Jadi seharusnya menyelesaikan akar masalah tidak hanya menutup symptom. Kayak orang sakit dokter kalau cuma dikasih obat batuk obat demam tapi ternyata Covid. Harus ketahuan apa masalahnya dan itu dipecahkan,” jelas Adi.

Adi menyebut tabiat Gibran meninggalkan mobil di tempat yang bermasalah ini menjadi gaya komunikasi yang bertolak belakang dengan Menteri Sosial Rismaharini dan mantan Gubernur DKI Ahok yang sering marah-marah.

Dengan gaya komunikasi simbolik semacam itu, Gibran memposisikan diri secara berbeda dari Risma dan Ahok. Gaya ini, kata Adi juga sangat efektif dalam mem-branding Gibran sebagai politisi baru.

“Jadi menurut saya itu sangat efektif dalam positioning atau lebih tepatnya branding politik Mas Gibran,” tambahnya.

Selain itu, dengan gaya komunikasi semacam ini, dalam konteks masyarakat Solo dan Jawa Tengah yang sangat sensitif dengan budaya, Gibran lebih dihormati ketimbang Risma dan Ahok yang marah-marah.

Namun, gaya komunikasi Gibran ini belum tentu efektif jika ia terapkan di daerah lain.

“Kalau Mas Gibran begitu di Sumatera misalnya, ya mungkin tidak efektif atau di daerah lain yang budayanya enggak seperti se-high context Solo atau Jogja,” ujar Adi.

Editor: Isa Gautama

Artikel Terkait

Berita Populer