progresifjaya.id, JAKARTA – Novri sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta melalui jaksa pengganti dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara dinilai berlebihan dalam tuntutannya selama 2 tahun penjara kepada terdakwa Peter Sidharta.
Pasalnya, tuntutan dugaan pemalsuan tanpa fakta yang terungkap di persidangan.
“Terdakwa terbukti secara sah menurut hukum telah melanggar pasal 263 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun,” kata jaksa pengganti dari Kejari Jakarta Utara didepan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH.,MH didampingi Budiarto, SH dan Tiares Sirait, SH.,MH di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (7/7).
“Tuntutan jaksa tersebut jelas sangat mengada-ada dan sama sekali tidak berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan, darimana dia mengetahui fakta yang terungkap dalam persidangan. Jaksa hanya sekali menghadiri persidangan, jelas tuntutan kepada klien kami hanya berdasarkan dakwaannya,” ujar Yayat Surya Purnadi, SH.,MH ketika di temui usai pembacaan tuntutan di luar persidangan.
Dikatakannya, sebagaimana fakta saksi pelapor yang merupakan mantu dari almarhum Ali Sugiarto yakni, Tedy Hadi Subrata (THS) dalam laporannya adalah memasuki pekarangan tanpa izin dan laporan terkait pemalsuan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), karena PBB-nya dibuat atas nama terdakwa.
Hal itu jelas karena terdakwa sendirilah yang membayar PBB atas tanah yang disengketakan sejak tahun 1983 atas namanya sendiri.
Sekarang pertanyaannya adalah atas nama siapa yang dipalsukan terdakwa ? Dalam persidangan jaksa tidak dapat membuktikan keabsahan kepemilikan tanah sengketa.
Selain itu, lanjutnya, terkait tanah atas eigendom pervonding telah di mohonkan terdakwa ke Badan Pertanahan Nasional(BPN) Kotamadya Jakarta Utara dengan prosedur yang berlaku berupa, surat keterangan dari RW dan RT.
Jadi dimana letak pemalsuannya? Jaksa pun dalam persidangan tidak dapat membuktikannya.
Sedangkan menurut saksi Endo Kurniawan dari Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta dalam keterangannya mengatakan, bahwa kepemilikan Egendom Verponding yang tidak dikonfersi sejak diberlakukan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, maka lahan itu dengan sendirinya menjadi tanah negara dan siapapun berhak mengajukan hak kepemilikannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Atas adanya peraturan tersebut, tambahnya, maka terdakwa pun mengajukan permohonan kepemilikan tanah tersebut ke BPN Kotamadya Jakarta Utara.
Dimana sepengetahuan terdakwa, bahwa dia lah yang menguasai lahan tersebut dalam kurun waktu tertentu disertai pembayaran pajak secara kontiniu dan berhak mendapatkan hak kepemilikan lahan tersebut.
“Sekarang yang menjadi permasalahan antara kliennya dengan ahli waris almarhum Ali Sugiarto jelas masalah keperdataan, bukan masalah pidana seperti apa yang didakwakan dan dituntut jaksa, karena permasalahannya berawal dari sewa menyewa lahan yang diperuntukkan pergudangan yang terletak di Jl. Bandengan Utara No. 52 A/5, Penjaringan, Jakarta Utara,” tegas Yayat.
Pemalsuannya menurut JPU, terbukti karena surat keterangan tidak sengketa yang diajukan Piter Sidharta ke RW dan Lurah Penjaringan Suranta dicabut kembali oleh Suranta tatkala dirinya bukan Lurah Penjaringan lagi.
Hal pencabutan surat tidak sengketa yang telah ditandatangani oleh Lurah tidak dapat dicabut oleh Lurah kembali, setelah tidak menjadi menjabat sebagai Lurah ditempat tersebut, kecuali oleh Lurah baru Kelurahan setempat.
“Klien kami seharusnya tidak bisa dituntut secara pidana, karena antara dua pihak terjadi ikatan sewa menyewa lahan,” tegas Yayat Surya Purnadi SH MH usai mendengarkan tuntutan kepada sejumlah wartawan di PN Jakarta Utara.
Penulis/Editor: U. Aritonang