progresifjaya.id, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang mewajibkan calon penumpang pesawat udara untuk tes polymerase chain reaktion (PCR) banyak mendapat sorotan dan protes dari berbagai kalangan.
Mereka mempertanyakan manfaat tes tersebut, padahal Covid 19 sudah mulai melandai.
Meski Satgas Covid 19 bilang syarat tes PCR itu sebagai bentuk kehati-hatian guna mencegah penularan Covid 19, namun stigma negatif yang berkembang di masyarakat adalah persyaratan itu terkait bisnis perusahaan-perusahaan penyedia laboratorium kesehatan/PCR.
Soalnya, tidak seperti vaksin yang diperoleh dengan gratis, tetapi tes PCR bayar, meski sudah diturunkan pemerintah harganya dari Rp 1 – 2 juta menjadi Rp 450 sampai Rp 500 ribu.
Lihat saja, outlet tes PCR kini banyak bertebaran bagai jamur di musim hujan, terutama di kota-kota besar. Memang harganya sudah dikategorikan murah sesuai ketentuan pemerintah, tetapi tetap saja sangat membebani masyarakat berpenghasilan rendah, karena transportasi udara sekarang ini sudah tidak menjadi monopoli orang-orang tajir saja.
Masyarakat umum sudah bisa terbang dengan pesawat, karena maskapai-maskapai penerbangan swasta bersaing menjual tiket murah untuk transportasi udara ini.
Tidak seperti dulu dimonopoli oleh perusahaan penerbangan Garuda Indonesia saja hingga harga tiketnya mahal dan hanya masyarakat kelas atas yang mampu naik pesawat.
Terkait dengan syarat tes PCR itu Ketua DPR-RI Puan Maharani saja heran terhadap keputusan pemerintah yang menetapkan hasil negatif Corona tes PCR maksimal 2×24 jam. Dia menyebut rakyat bingung terhadap aturan itu.
“Beberapa hari ini banyak masyarakat bersuara karena bingung dengan aturan baru PCR sebagai syarat semua penerbangan ini. Masyarakat mempertanyakan kenapa dalam kondisi pandemi Covid 19 di Indonesia yang semakin membaik, tapi justru tes perjalanan semakin ketat,” kata Puan seperti dikutip CNNIndonesia.com.
“Kenapa dulu ketika Covid19 belum selandai sekarang, justru tes antigen dibolehkan sebagai syarat penerbangan. Kalau sekarang harus PCR karena hati-hati, apakah berarti waktu antigen dibolehkan, kita sedang tidak atau kurang hati-hati?” tanya Puan.
Menurut Puan, tes PCR seharusnya hanya digunakan untuk pemeriksaan bagi suspek Corona.
“Masyarakat juga bertanya-tanya mengapa PCR dijadikan metode screening, padahal PCR ini alat untuk diagnosis Covid 19,” ujarnya.
Namun Puan tidak menyebutkan adanya ajang bisnis pada syarat tes PCR bagi calon penumpang pesawat udara.
“Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat seperti ini harus dijelaskan terang benderang oleh pemerintah,” ujar Puan.
Sementara itu Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengkritik keras wajib menyertakan hasil tes PCR maksimal 2×24 sebagai syarat naik pesawat. Beka menilai aturan itu rumit.
“Bikin ruwet dan rumit, jadi merepotkan,” kata Beka kepada wartawan, Kamis (21/10).
Dia meminta pemerintah mengubah masa berlaku hasil tes PCR menjadi lebih panjang agar tidak merepotkan calon penumpang.
“Saya itu berapa kali perjalanan yang 2-3 hari saja. Yang diperlukan adalah pemerintah soal masa berlaku dari PCR itu supaya tidak 2×24 jam sehingga prosedur untuk terbang bagi orang-orang yang sering melakukan perjalanan singkat 2-3 hari itu tidak merepotkan,” ujarnya.
Beka menyampaikan tidak semua laboratorium PCR di daerah mengeluarkan hasil tes dengan cepat. Beka juga menilai harga tes PCR masih mahal, sehingga memberatkan masyarakat yang akan menggunakan transportasi udara.
Penulis/Editor: Isa Gautama