progresifjaya.id, JAKARTA – Tren gerakan radikalisme yang menjurus pada aksi teroris masih ada di Indonesia. kelompok teroris yang selama ini masih eksis, terus memantau situasi kewaspadaan aparat keamanan Indonesia.
Beberapa serangan yang dilancarkan kepada aparat keamanan meskipun berskala kecil belakangan ini, membuktikan bahwa kelompok radikal tersebut masih mampu melakukan aksi terorisme yang dapat menimbulkan korban jiwa.
Demikian ditegaskan DR. Wawan Purwanto, selaku Deputi Komunikasi dan Informasi, Badan Intelijen Negara (BIN) dalam bincang velox pada hari Kamis (25/6/2020).
Serangan teror tersebut meskipun sedikit kurang terkoordinasi dan dilakukan dengan senjata apa saja, merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi mereka kepada masyarakat.
“Ditengah pandemi covid 19 saat ini, yang sedang melanda seluruh lapisan masyarakat, mereka tetap berupaya melakukan serangan dan di sampaikan melalui ruang publik,” kata DR. Wawan.
Selain itu, lanjutnya, dengan beredarnya berita hoax di media terutama media sosial, menjadi faktor pendukung, yang turut menyuburkan eksistensi aksi-aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikal dan terorisme.
“Sekitar 60% dari berita hoax yang beredar di media terutama media sosial, telah dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan teroris untuk menyebarkan ajakan untuk melakukan aksi teror,” katanya.
Menurutnya, bahwa ajakan tersebut terutama diarahkan untuk merekrut generasi muda atau generasi milenial, yang semangatnya dimanfaatkan oleh kelompok ini untuk menyampaikan ajakan yang seolah berdasarkan ajaran agama.
“Oleh karena itu kita mengajak kepada masyarakat, untuk senantiasa turut mengontrol dan mewaspadai berita-berita hoax, yang diragukan kebenarannya, jika ditemukan informasi yang dicurigai segera melapor kepada pihak yang berwajib,” tegas DR. Wawan.
Sementara itu, Dekan Fisipol UKI, DR. Angel Damayanti menyampaikan, untuk lingkup Indonesia, pergerakan radikalisme di Indonesia tidak hanya memiliki satu tujuan, ada kelompok radikalisme yang hanya radikal di gagasan saja, namun tidak punya niat untuk melakukan aksi kekerasan.
Kelompok ini hanya memunculkan wacana kelemahan pemerintah seperti kegagalan mengatasi Pandemi Covid – 19, sehingga memunculkan aksi atau diskusi tentang pemakzulan Presiden. Selain itu, ada kelompok radikal yang vandalisme, yang melakukan gerakan dengan menggunakan kekerasan, dan ada beberapa kelompok lainnya.
Lalu, kata Angel, ada kelompok radikal milisi, radikal separatis dan radikal teroris yang sering melakukan aksinya dengan menggunakan momentum hari raya keagamaan.
“Diantara kelompok tersebut walaupun sama – sama berbahaya, namun ditengah wabah Pandemi ini, yang harus diwaspadai adalah kelompok radikal gagasan karena karena selama masa PSBB social distancing atau physical distancing saat ini, masyarakat akan lebih banyak mengakses media sosial dan media online yang justru menjadi sarana paling aman bagi kelompok radikal ini untuk menyampaikan gagasan radikalisme nya,” kata DR. Angela.
Selain itu, menurut Angel, bahwa medsos dan media online ini bisa menjadi sarana propaganda dan informasi hoaks, termasuk sarana rekrutmen dikalangan generasi muda utk menyebarkan pengaruh dari kelompok radikal, bahkan situasi Pandemi Covid – 19 ini pun menjadi sarana penyebaran paham radikalisme.
“Atas nama bencana Covid, perlu diwaspadai sumbangan ataupun donasi untuk bantuan kemanusiaan akibat covid-19, dananya justru disalahgunakan atau dimanfaatkan dan digunakan untuk membiayai gerakan atau aksi teroris,” tambah DR. Angel.
Oleh karena itu, kata Dekan Fisipol UKI ini, pemerintah perlu terus berupaya membangun kepercayaan publik, karena kunci utama dari suburnya paham radikalisame adalah banyaknya ketidakpuasan kepada pemerintah, sehingga pemerintah harus terus memperbaharui strategi merebut hati publik dan menyakinkan publik, tentang upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan bangsa.
“Publik harus diyakinkan bahwa pemerintah telah melakukan pekerjaan yang berhasil dengan baik, jika publik yakin terhadap pemerintah, niscaya paham radikal perlahan akan terkikis dan hilang ditengah masyarakat,” sambung DR. Angel.
Dan masyarakat perlu tetap kritis terhadap beredarnya informasi di tengah – tengah publik, jangan mudah percaya terhadap segala diinformasi yang diragukan kebenarannya.
“Sebaiknya masyarakat selalu cek dan ricek apabila menemukan berita hoaks yang beredar, dan tidak ragu untuk bertanya kepada ahlinya, agar tidak menimbulkan miskomunikasi,” sambung DR. Wawan, menutup wawancaranya.
Penulis/Editor: Ebenezer