Oleh: Dr. Mukhtadi El Harry, MM
WONG CILIK seolah hanya boleh jadi objek, sekedar bertanya pun tidak boleh. Tulisan ini mewakili pertanyaan wong cilik, silahkan siapapun boleh menjawabnya. Wong cilik adalah sekelompok orang yang senanatiasa dijadikan objek proyek sosial dalam sistim sosial yang selama ini telah terbentuk di republik tercinta ini.
Wong cilik sepertinya sengaja diciptakan agar tetap cilik, biar orang kaya bisa bagi bagi sembako, ormas, lembaga bisa melaksanakan santunan, perusahaan bisa bagi-bagi CSR.
Para Politisi bisa blusukan dengan membagi bagi sembako, melempar kaos, penguasa bisa melempar hadiah dari dalam mobil mewahnya, para akademisi, ilmuwan, pengamat bisa jadi pembicara, pemerintah bisa memberikan bansos, BLT.
Para tokoh agama pun dengan bangga mengajarkan untuk menyantuni wong cilik, tumbuhnya Yayasan wong cilik (yatim piatu, dhuafa). Lembaga keuangan pun di stigma, ada Bank Perkreditan Rakyat, UMKM, Menteri Daerah Tertinggal, Menteri Sosial yang kesemuanya itu drama eksploitasi wong cilik, sepertinya harus ada panggung “barang siapa yang peduli akan mendapat status dermawan”.
Wong cilik seolah di bingkai agar tetap cilik, mau cari kerja harus melengkapi seabrek persyaratan yang semuanya harus dibayar dengan uang. Kalaupun bekerja di sektor yang selamanya dia akan tetap sebagai pekerja, upah sekedar bisa menyambung hidup, ingin memperpanjang kontrak harus mau diajak wisata ria bosnya.
Apakah arah pembangunan yang selama ini dirumuskan dilaksanakan dan dibangga-banggakan oleh para pembesar di republik ini sudah sesuai dengan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Apakah Gedung-gedung tinggi, berbagai industri, BUMN, perusahaan-perusahaan besar, hypermart, bahkan toko-toko di pinggir jalan, perumahan mewah super blok, jalan tol, transportasi, fasilitas kesehatan, sekolah-sekolah bergengsi sudah dinikmati oleh wong cilik?
Ataukah justru sebagai pagar pemisah, wong cilik hanya sebatas sebagai cleaning service, office boy, tukang sampah, tukang parkir, tukang kebun, satpam.
Demokrasi, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, ternyata implementasinya dari wong cilik, oleh wong cilik untuk wong cilik. Dalam arti kata, mengeksploitasi wong cilik supaya yang kuat semakin kuat, yang cilik tidak boleh kuat, sebab kalau kuat justru akan membahayakan posisi yang kuat.
Pembangunan ini ternyata telah berhasil membentuk kelompok penikmat kemerdekaan dan pengais kemerdekaan dan posisi ini sepertinya terus dipertahankan agar ada keseimbangan sosiaal, betapa “dholimnya” bangsa ini.
Mari kita sadar dan kembali ke jalan yang benar, mari kita cari solusi, penulis menawarkan solusi sederhana namun insya Allah akan ada hasinya, adapun solusinya adalah sebagai berikut:
- Buat data kongkrit, berapa jumlah wong cilik sesungguhnya
- Buat Skema dan skejul kongkrit pemberdayaan wong cilik
- Beri akses agar wong cilik bisa meningkat kualitas hidupnya
- Buat system agar yang kuat bertanggung jawab membesarkan wong cilik
- Tanamkan nilai yang disebut sukses adalah apa bila “bisa membuat orang lain sukses”.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial
komentar terbaru